PESTA PEMBUNUHAN KESADARAN MAHASISWA

http://www.daunjationline.com/2015/03/pesta-pembunuhan-kesadaran-mahasiswa.html
(esai pendek
atas apresiasi “kolaboraksi” pelantikan
ormawa)
Oleh:
John Heryanto
Sebuah pesta
digelar di sunan ambu (16/03/14) untuk merayakan pelantikan pengurus baru ormawa terutama kegembiraan atas
terpilihnya ketua BEM & Majelis mahasiswa STSI Bandung/ISBI Bandung.
Seperti para
machevellis dimana hal pertama yang dilakuakan oleh sang penguasa adalah
melakukan pembodohan terhadap rakyatnya sehingga tidak ada kesempatan untuk
bertanya apalagi berpikir, begitu juga dengan acara pelantikan ormawa ini yang
diselenggarakan oleh Majelis Mahasisswa priode sebelumnya dengan mengadakan
hiburan yang mereka namakan “kolaboraksi” berupa pertunjukan dari masing-masing
perwakilan UKM & HMJ yang pentas bergantian, lalu sang penguasa (Presiden
BEM) diarak keliling kampus naik sisingaan persis seperti anak kecil yang baru
disunat, dan semua orang bergembira lantas berjoget dengan musik dangdut. tak
ada manifesto apalagi diskusi publik untuk membicaran satu tahun kedepan, sepertinya
semua orang telah jatuh pada hayalan dan berkutat dengan perasaan-perasaan
tanpa melihat realitas yang sebenarnya, padahal belum satupun gagasan yang
diusung oleh penguasa (BEM) dimana gagasan sebagai sebuah produksi wacana yang
memiliki perananan cukup penting bagi perubahan realitas kebudayaan (khususnya
mahasiswa) meski gagasan dalam pandangan marx seperti bayangan dengan tubuhnya sedangkan
tubuh memerlukan hidup atau realitas (relasi eksternal) sedangkan tindakan
adalah perwujudan dari faktor internal maka bagi marx gagasan, tindakan dan
realitas adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebab pergulatan wacana
dan praktik itulah yang menjadikan manusia itu ada.
Secara
tiba-tiba dan tanpa disadari situasi kampus telah berubah menjadi pesta-pesta, seperti
berlakunya jam malam dimana tiba-tiba wifi hanya sampai pukul 9 malam, meski
internet tidak sepenuhnya menjadikan orang produktip tapi dengan wifi dimatikan
sudah merupakan upaya pembatasan terhadap kreatifitas mahasiswa di kampus, cctv
di pasang dimana-mana tapi maling masih saja ada, adanya prodi baru yaitu
etnostudi yang entah siapa dosennya apalagi kajur karena baru dibuka dan tidak
ada mahasiswanya, jumlah penerima beasiswa dibatasi, pembangunan fisik kampus
yang terus menerus termasuk berdirinya
fakultas dan lain-lain, sementra hiruk-pikuk dalam kondisi material itulah
(politik kampus) yang diperjuangan dalam pertentangan kelas bagi mahasiswa
pergerakan di kampusnya.
Lantas pesta
(kolaboraksi/kolaborasi dan aksi) untuk apa apabila hanya sebatas hiburan
seperti kaum-kaum borjuis tempo dulu yang menghabiskan hari-harinya dengan
pesta yang tidak jelas selain untuk memenuhi hasrat rendahan, apakah dasar
kekuasaan (BEM) akan dibangun dengan itu sebagaimana yang dikatakan oleh Machiavellli
bahwa “membunuh sahabat seperjuangan,
menghianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memililiki rasa
kasihan, dan tidak memiliki agama: kesemua hal ini tidak dapat digolongkan
sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan..”
Sedangkan marx
selalu mengandaikan bahwa relitas seperti sebuah tembok bangunan yang memerlukan
pondasi, lantas pondasi apa yang akan mahasiswa bangun?
selamat bekerja.