PUISI (AFRIZAL) DAN TUBUH (SAYA)

http://www.daunjationline.com/2015/08/puisi-afrizal-dan-tubuh-saya.html
Oleh: Agung Hujatnikajennong
![]() |
Sketsa :Hanafi |
Saya berbicara di sini semata-mata karena saya menyukai puisi-puisi Afrizal
Malna. Tapi jangan tanya wacana atau teori apa yang membuat saya
menyukainya karena saya bukan seorang kritikus apalagi penelaah sastra.
Sampai detik ini saya tidak/belum tertarik membaca telaah ataupun teori yang
bisa membantu saya memahami puisi-puisi Afrizal.
Saya hanya percaya, seperti
yang puisi-puisi Afrizal ajarkan, bahwa ada keterlibatan pengalaman / tubuh
saya yang menyebabkan saya merasa memiliki keterhubungan dengan karyakaryanya.
Seperti rasa cinta antar-remaja/ABG yang tak selalu bisa terjelaskan,
kenikmatan saya membaca puisi-puisi Afrizal biarlah tetap menjadi pengalaman
yang korporeal, yang terkadang lebih menyenangkan ketimbang elaborasi
intelektual.
Tahun 1996, saya membeli buku puisi Afrizal Malna, Arsitektur Hujan di depan
Masjid Salman ITB.
Mula-mula saya tertarik hanya karena sampulnya
menampilkan foto instalasi Agus Suwage. Tapi sesekali saya juga iseng membaca
puisi-puisi di dalamnya, terutama setelah capek menyelesaikan tugas-tugas
kampus. Pada beberapa puisi, terutama ‘Orang-orang Jam 7 Pagi’, ‘Cucian Kotor
Suatu Pagi’, ‘Kesibukan Membakar Sampah’, ‘Pulo Gadung dari Peta 15 Menit’,
‘Liburan Keluarga dan Pipa-pipa Air’, saya seperti menemukan diri dan
pengalaman saya.
Saya pernah tinggal selama tiga tahun di daerah Cigondewah (1996-1999).
Rumah kontrakan saya persis di depan terminal angkot Bumi Asri – Ciroyom.
Setiap hari, untuk berangkat ke kampus, saya harus melewati kompleks pabrikpabrik
besar yang lalu lintasnya seringkali macet hanya karena rutinitas
pergantian shift – masuk dan bubarnya para pekerja pabrik. Jalanan di
Cigondewah sempit, rusak dan selalu digenangi air setinggi betis jika musim
hujan.
Air yang menggenangi ban motor saya ketika melewatinya selalu bau luar
biasa, tak hilang hanya dengan semprota air kran – konon hasil percampuran
limbah kimia pabrik-pabrik dan sampah domestik yang dibuang sembarangan ke
sungai-sungai sepanjang jalanan Cigondewah Kaler itu.
Saya bergaul dengan para buruh migran yang saya kenal di warteg langganan di
sekitar kontrakan mereka. Saya makan “asinan mangga dalam kantong plastik
dingin” dan melihat sungai yang tidak membawa batu-batu, tapi “…softex,
bungkusan mie dan sisa-sisa makan penuh peahen kulit telur”.
Rutinitas tubuh
inilah rupanya, setelah saya ingat-ingat, yang mula-mula menciptakan koneksikoneksi
tak terduga antara saya dengan puisi-puisi Afrizal Malna.
Saya ingin membayangkan tubuh manusia seperti batang magnet yang menarik
serbuk-serbuk besi dalam gundukan pasir sungai. Tubuh saya ternyata
membentuk medan magnet ketika membaca puisi-puisi Afrizal. Diksi ‘urban’ dan
bait-bait puisi yang acak, ngaco dan ribut—terkadang usil mengomentari
keributannya sendiri—adalah serbuk besi Afrizal yang tertarik ke dalam tubuh
saya, bersama pengalaman dan ingatan-ingatan tentang Cigondewah yang telah
terlebih dahulu membentuk tubuh saya sebagai magnet itu. Jika medan magnet
itu bisa diibaratkan sebagai impuls-impuls estetik/puitik, serbuk-serbuk besi
dalam puisi-puisi Afrizal mungkin tidak akan tertarik ke dalam tubuh saya, jika
saya tidak tinggal di Cigondewah, atau jika saya memutuskan tetap tinggal di
Tasikmalaya, dan melihat balong, sawah dan sungai setiap harinya.
Persentuhan saya dengan puisi Afrizal juga terjadi ketika saya membuat sebuah
karya video berjudul “Cigondewah dari Tutup Panci 15 Menit” (1999).
Ini adalah
karya tugas mata kuliah “Eksperimen Kreatif” di bawah bimbingan Tisna
Sanjaya, sekaligus satu-satu karya video sepanjang hidup saya. Sayang saya tak
bisa menayangkannya di sini. Video ini merekam sebuah panci yang tutupnya
bergerak-gerak karena uap air yang mendidih selama 15 menit. Gambaran itu
kemudian saya tumpuk dengan footage sungai-sungai kotor dan buruh-buruh
pabrik yang lalu lalang di Cigondewah. Siapa yang menyangka penemuan mesin
tenaga uap akhirnya berujung pada berdirinya bangunan-bangunan pabrik besar
yang menelan rawa-rawa, sungai dan sawah? Di Cigondewah pabrik-pabrik tidak
hanya menelan alam pedesaan yang asri, tapi juga berak dan meninggalkan
kotoran di setiap sudutnya.
Dalam pemahaman saya, kekhasan puisi-puisi Afrizal tidak hanya terletak pada
cara-caranya menyajikan indeks tanda-tanda urban.
Dalam puisi-puisi Afrizal,
baik bahasa maupun puisi terus-menerus digunakan dan dipersoalkan secara
radikal. Afrizal ‘mempersonifikasi’ bahasa dan puisi sedemikian rupa: Bahasa
dan puisi adalah mesin yang secara sistematis mengungkung subjek, yang di
hadapannya seorang penyair justru harus berani berkata ‘tidak’. Bagi saya,
Afrizal adalah penyair yang juga menjadikan bahasa dan puisi sebagai sasaran
tembak, untuk dipermainkan, dibetot-betot hingga batas-batas yang tak
mungkin. Bahasa verbal dilihat sebagai material yang serba terbatas, dianggap
tak pernah bisa sepenuhnya menjadi mediator realitas—realitas konkret,
realitas ketubuhan—yang tak berdaya di hadapan konstruksi sosial, politik,
ekonomi, budaya.
Puisi-puisi Afrizal juga mengadu domba bahasa dan puisi. Ketika khazanah
bahasa (terutama bahasa Indonesia) adalah medium yang memungkinkan kita
melihat semua ketidakberdayaan bahasa, sebagai “…lembaga komunikasi yang
bobrok dan busyet”. Puisi-puisi Afrizal seringkali menyajikan dunia referen yang
berkelebat-kelebat, yang hingar-bingar, terkadang surreal, fantastik bahkan
absurd, yang membongkar semua kekakuan aturan-aturan main bahasa. Harihari
ini diksi, logika dan pola bahasa verbal di sekitar kita dikendalikan oleh
hukum pasar dominan: oleh nama-nama supermarket, gerai pulsa HP, factory
outlet, iklan sabun, baligo pilpres maupun pilkada, yang tesebar di jalanan,
halaman-halaman majalah, pada layar komputer, maupun telepon genggam kita.
Buku puisi Afrizal yang baru terbit, Berlin Proposal, memang tak lagi dipenuhi
oleh diksi, kosakata ataupun indeks-indeks tanda yang akrab dengan saya.
(mungkin karena saya tak pernah tinggal berlama-lama di Jerman).
Tapi saya
bisa merasakan bagaimana puisi-puisi itu lahir dari suatu pengalaman korporeal
yang unik dalam kehidupan Afrizal. Tak ada lagi ‘mitos-mitos kecemasan’
berhadapan dengan kegaduhan bahasa (Indonesia) yang menjadi habitat sang
penyair. Inilah puisi-puisi yang lahir dari persentuhannya dengan lingkungan
sosial baru. Lingkunga yang saya bayangkan menawarkan sejarah perang, arsip,
museum-museum dan pameran, tata kota yang serba teratur oleh taman, hutan
dan sungai-sungai bersih, udara empat musim, sebagai habitat baru bagi
tubuhnya—selain layar komputer, internet dan acara-acara televisi.
Afrizal menyebut residensinya di Berlin sebagai suatu pengalaman ‘retreat’ dari
bahasa. Benarkah pengalaman hidup dan bekerja di habitat baru itu
membuatnya mundur, lalu bertekuk-lutut di hadapan bahasa dan puisi?
Kenyataannya, Afrizal tidak serta-merta menulis puisinya dalam Bahasa Jerman.
Memang ada pokok-soal (subject-matter) maupun diksi-diksi baru yang berjarak
dengan saya sebagai pembaca. Yang mencolok, dan tetap khas dari Afrizal adalah
caranya membongkar batasan bahasa verbal / tekstual dengan visual. Puisi-puisi
Afrizal sudah sejak lama bersifat visual, dalam pengertian ia selalu menawarkan
imaji-imaji deskriptif yang langsung hadir secara visual ketika saya
membacanya. Akan tetapi sejumlah puisi dalam buku ini lebih jauh
menggunakan bentuk-bentuk visual yang lebih kasat mata untuk ‘mengolokolok’
ketidakberdayaan bahasa verbal (lihat misalnya: ‘teritori digital’, ‘tektonik
digital’ atau ‘resonansi garis’, yang lebih menyerupai aikon, atau gambar,
ketimbang tulisan). Singkat cerita, buku ini memperlihatkan bagaimana, bahasa
dan puisi masih menjadi pokok-soal, medium sekaligus material yang Afrizal
personifikasi, tidak hanya sebagai ‘sparring partner’ atau ‘musuh’ tapi juga
‘kekasih’.
Bandung, 15 Agustus 2015
________________
*Kurator & Dosen Seni Rupa ITB