MENCARI APOTEK DAN PUISI DI TUBUH AKTOR

http://www.daunjationline.com/2015/11/mencari-apotek-dan-puisi-di-tubuh-aktor.html
Oleh: Mohamad Chandra Irfan
Jumat malam (01/05/15), Taufik Abdul Rojaq dan R. Melia lewat Agustina Kusuma Dewi mencoba
menawarkan Fragmen di Bingkai Perak sebagai medan artikulasinya di Studio
Teater STSI/ISBI Bandung. Bagaimana jadinya jika sepasang orang tua mencari
dirinya dari bayangan dirinya? Apakah mungkin sebuah bayangan dapat menjadi
jembatan bahasa untuk mengartikulasikan dirinya? Sementara pada saat yang
bersamaan, intervensi dan kejadian terus menerus melancarkan dirinya ke tubuh
yang lain! Hidup dalam garis kemiskininan adalah fenomena yang terus menerus
lahir dan tumbuh di masyarakat negara ketiga seperti Indonesia ini. Akhirnya
ketika manusia saat ini melihat fenomena tersebut, hanya bisa bereaksi pada
hari itu, pada saat peristiwa itu terjadi—tanpa ada tindakan yang lebih riil
untuk menuntaskan fenomena tersebut.
Narasi
Luka dari Atas Papan Kasur
Mereka berdua sebenarnya
tidur satu ranjang, keduanya memakai sarung. Euis (Nuramalina Yuhana) mulai
gusar, mulai membolak-balikan tubuhnya. Sebentar ia bangun, lalu tidur lagi.
Sementara Asep (Puad Saefuz Zaman) masih tertidur pulas, bahkan malah menarik
sarung untuk membungkus seluruh tubuh terutama kakinya, posisi morongkol. Euis masih dengan sikap yang
sama, gusar dan gelisah—akhirnya Euis benar-benar bangun, duduk, kemudian
membangunkan Asep. Sepasang suami istri yang
hidup di dalam sebuah gubuk, menjadi pemulung barang-barang bekas. Mereka
berdua saling berbicara kesusah dan kesenangnya. Ketika pusat kesadaran Euis
mulai direduksi oleh kuasa tubuh di luar dirinya, ia pun mulai menyatakan
dirinya di hadapan yang liyan, yaitu
Asep. Euis ingin didengar dan diakui keberadaan dirinya di hadapan yang liyan. Sehingga segala sumber gerak dan
motifnya bisa tercapai dengan baik. Namun apa daya, semuanya hanya menjadi teks
semu, teks yang mengambang; ketika yang dihadapi adalah orang yang sama-sama
ingin mendapatkan pengakuan atas yang liyan
juga. Masing-masing mempunyai perspektif yang sama, sama-sama ingin keluar dari
kemelut yang selama ini mendominasi dirinya, kemiskinan. Pada akhirnya untuk
membangun sebuah keluarga tidak hanya cukup dengan “cinta” saja, namun
finansial jauh lebih menjanjikan untuk memberi dan menerima apa yang dinamakan
dengan kebutuhan. Sandang, pangan, papan, menjadi tema dominan dari apa yang
digagas Fragmen di Bingkai Perak. Puncak dari peristiwanya adalah ketika Euis
mendapati dirinya hamil, akan tetapi Asep tidak dapat menerima begitu saja,
sebab menurut Asep; hidup berdua saja segala sesuatu harus dipikirkan dengan
keras, bisa makan pagi, tidak bisa makan sore atau malam. Serba terbatas. Apalagi ini ditambah harus hidup dengan yang
lain. Bagaimana nanti mengurusi biaya persalinan, biaya makan, kebutuhan
sehari-hari? Suasana masa depan pun semakin meruncing menjadi sesuatu yang
menakutkan. Lagi-lagi narasi masalalu menjadi apotek untuk membereskan segala
persoalan.
Dialek
Setengah Matang
Ada
banyak sekali cara aktor untuk menafsirkan teks yang dihadapinya. Teks yang
mula-mula hadir sebagai rentetan kata-kata kemudian harus dialih-tempatkan
menjadi sebuah teks yang dilafalkan. Bagaimana caranya seorang aktor menemukan
rasa teks, jika seandainya bibir pun sudah tak mampu lagi menemui rasa,
katakanlah mati-rasa? Ini sebuah tantangan bagi seorang aktor untuk menyelami
berbagai teks yang hadir di depan matanya. Tidak lagi menjadi teks yang hanya
menggelontor begitu saja, yang keluar dari rahang dan ujung bibir, namun harus
menjadi “kendaraan imajinasi” bagi penontonnya, meminjam istilah Suyatna
Anirun.
Seorang aktor
mestilah cerdas memilih rasa dari tiap teksnya, karena dari sana akan
diketemukan sebuah pemaknaan yang tidak satu pintu, melainkan berbagai pintu.
Jika seorang aktor tak mampu mengurai dan menguliti teks yang dihadapinya, maka
sudah dapat ditakwil aktor tersebut tidak akan mampu mengartikulasikannya
dengan baik dan tepat. Pemilihan dialek dari setiap diksi yang akan disampaikan
pun menjadi penanda paling fundamen dalam menentukan laku dan peristiwa.
Naskah dengan
teks universal macam bahasa Indonesia bagaimana pun membuka ruang untuk
ditafsir ke mana suka, didekatkan ke mana pun, misal pada pendekatan waktu
kejadian, tempat kejadian, dan watak setiap tokoh tersebut. Taufik Abdul Rojaq
yang akrab dipanggil Dudee dan R. Melia yang akrab dipanggil R, mencoba
menggiring pemaknaan aktor pada wilayah Priangan. Dengan dialek khas Priangan.
Nuansa Priangan pun tampak menjadi lebih dekat dan tidak berjarak dengan
penonton yang mayornya adalah orang ber-suku-kan Sunda. Akan tetapi ada yang
disayangkan, ketika dialek Priangan itu dilakukan oleh aktor, malah tidak
menjadi sesuatu yang dekat, malah berjarak dengan aktornya sendiri. Terlihat
dari inkonsistensi aktor terhadap pelafalannya. Lagi-lagi akhirnya aktor
menjadi rabun dekat dalam persoalan bahasa. Bahasa yang dikontruksi tidak
menjadi monumen, namun hanya menjadi momen saja.
Nihilitas
Vokalisasi Kelas Menengah
Seorang penonton
saat menonton sebuah pertunjukan teater, secara tidak langsung ia akan membaca
gagasan dan visualisasi yang dihadirkan oleh sutradara. Di sini penonton akan
membaca kemungkinan biografi yang bocor dari seorang sutradara. Lakon Fragmen
di Bingkai Perak dengan genre tragik-komedi ini dihadirkan dengan tanpa
kedalaman. Yang tersisa hanya ketawa murahan dari setiap penonton.
Akhirnya
teater tidak hanya menjadi sebuah ladang yang kehilangan peladangnya, melainkan
teater tetap harus ada beserta peladangnya. Kedudukan sutradara menjadi sangat
penting sebagai subjek pertama yang menafsir terhadap teks yang ada di
hadapannya. Sifat pertunjukan pun tidak merupan sebuah pertunjukan yang
bersifat presentasi, melainkan representasi. Artinya ada dua realitas yang dikomparasi
menjadi satu bentuk realitas. Kenyataan sebagai realitas pertama akan berjalan
secara nature mengikuti waktu yang
siklik tidak mekanik, sementara karya seni naskah dan pewujudan peristiwa dari
naskah menjadi realitas kedua yang lengkap dengan model-model pendistorsian
kentara.
Arahan
sutradara menjadi peran penting dalam membaca kemungkinan watak setiap tokoh
dan itu yang akan menjadi representasional dari setiap antropologi dan
psikologi yang ada dalam diri seorang tokoh. Hukum-hukum logika sangat berlaku
di sini. Bagaimana mungkin untuk seseorang yang hidupnya serba terhimpit bisa
berbicara tanpa beban, tanpa sebuah keharuan? Sementara pembahasaan/vokalisasi
setiap aktor menjadi sangat penting dalam lakon Fragmen di Bingkai Perak ini.
Karena bagaimana pun penihilan terhadap beban teks/dialog dengan watak/karakter
tokoh yang terepresi itu tidak bisa begitu saja dinihilkan—di sana penonton
akan menangkap imaji terhadap tokoh itu untuk dijadikanya “teater kedua”,
meminjam istilah Afrizal Malna.
Pada akhirnya
kita mencari seorang aktor yang bukan gesture
melainkan aktor yang benar-benar figur.
Kita juga mencari aktor yang tidak kehilangan “puisi” di tubuhnya, sehingga
tidak asal melaku melainkan harus mengaku. Kali ini teater mencari kekasihnya,
yaitu aktor!