SEBUAH PERTANYAAN BAGI PERLAWANAN BEGIG BESI YANG ENIGMATIS

http://www.daunjationline.com/2016/03/sebuah-pertanyaan-bagi-perlawanan-begig.html
Mohamad Chandra Irfan
(Pertunjukan
Ke-7 Pada FTR V: Teater Bunga, SMAN 5 Karawang - 'Begig Besi' |
Karya/Sutradara: Endang Kahfi)
Foto: Daunjati/Immanuel Deporaz |
Daunjati,
Senin sore (21/03) – Seorang ibu berseru agar anak-anaknya bersekolah, “tumbuhlah jadi generasi padi, Nak!”, ia berdiri
di satu tempat nun jauh di tubuh anak-anak. Anak-anak kemudian serempak
menjawab, “tidak mau, Bu!. Ibu itu
berteriak lagi dan lagi. Anak-anak kemudian membuka identitasnya sebagai
turunan keluarga petani. Anak-anak itu kemudian menjadi tubuh yang
termekanisasi, menjadi tubuh pabrik, menjadi patah-patah. Sementara itu Hatta
menjadi satu-satunya pewaris semangat untuk melawan pemilik modal, Pak Bos. Ia
semangat sekolah karena ayahnya meninggal akibat melawan/menolak pembangunan
pabrik di wilayah sekitarnya. Bu Halimah guru sekolah Hatta, menggadaikan
tubuhnya pada pemilik modal, Pak Bos, untuk menyelamatkan lahan sekolahnya yang
hendak digusur dan dibeli oleh Pak Bos. Bu Halimah menutup mulut. Bu Halimah
bunting. Hatta dan temannya melawan.
Sepintas adegan
di atas memang cukup menggoda kesadaran kita akan pentingnya untuk tidak
mangut-mangut terhadap realitas yang sedang dihadapi. Sepintas pula mengetuk
nurani kita, betapa –melawan- itu adalah balasannya sama dengan nyawa dan harga diri. Pertunjukan
“Begig Besi” dari Teater Bunga, SMAN 5 Karawang, karya/sutradara Endang Kahfi
ini mencoba menyerap realitas masyarakat yang hidup di tengah dan sampingnya
adalah pabrik. Secara geografis Karawang itu adalah daerah industri, di mana
sudah diketahui bersama, bahwa, pabrik adalah rumah besar tempat
mengeksploitasi para buruh secara terbuka, dan itu, regulasinya setiap saat
selalu sama dan akan terus seperti itu. Upaya melawan dengan pendidikan memang
sangatlah penting, mengingat sebuah perlawan tanpa pendasaran yang kuat dan
berfondasi, hanya akan menjadi perlawanan yang tidak menjejak.
“Begig Besi” adalah
sebentuk akumulasi kemarahan dan empati yang terkoneksi lewat konflik kematian
ayah-nya Hatta, bunting-nya Bu Halimah dan sifat eksploitatif-nya Pak Bos—ketiga
hal tersebut saling menanam kritik; internal dan eksternal. Kritik internalnya
termaktub pada kenyataan anak para petani (tani penggarap) banyak yang
meninggalkan bangku sekolah, sehingga yang terjadi adalah tetap menjadi ‘tani
penggarap’, mereka hanya menanam, memupuk, memanen, dan terakhir menjualnya
pada tengkulak—keadaan tersebut secara tidak langsung melanggengkan pemilik
modal untuk tetap bercokol sebagai subjek dan tani penggarap sebagai objek
eksploitasinya. Kritik eksternalnya terletak pada keberadaan pemilik modal
tidak bisa dimanja-imut-kan sebagai super hero yang dengan pongahnya telah berkontribusi membuka lapangan pekerjaan—melainkan harus
dilihat dan dibaca kehadirannya sebagai penghisap yang manis dijanji kejam
dipendapatan.
Pemilik modal bekerja
dan bersiasat dengan cara yang kasat-mata. Mereka mempersiapkan jutaan plan keuntungan bagi saku mereka sendiri, dari
plan A sampai Z. Oleh karena itu
kosa-katanya sudah dapat diterka, hanya itu-itu saja, mulai dari kosa-kata
paling halus dan berkembang ke kosa-kata paling represif. Kosa-kata tersebut akan terus berdenging di
telinga kaum yang tereksploitasi.
*
Sudah menjadi
pengetahuan bersama bahwa teater banyak berafiliasi dengan elemen seni yang
lainnya, dari sekian elemen-elemen yang mendukung teater tersebut ada yang
tidak bisa direnggut oleh seni yang lainnya, yaitu seni peran/keaktoran. Vitalitas
aktor adalah karena kedudukannya sebagai driver dalam
mengemudikan pertunjukan yang hendak dipresentasikan ke hadapan penonton. Sutradara
“Begig Besi” lebih banyak memproduksi simbol-simbol dan lupa memperhatikan para
aktornya; para aktor mayoritasnya secara refetitif kurang tepat dalam
menyampaikan dialog, sehingga berpengaruh pada message dialognya, dialog
seperti masih dalam tahap hafalan; stimulus-respon antar aktor tidak terdesain
dengan tepat, selalu lepas; pendayagunaan choral
sebagai pengental adegan benar-benar di-anak-tiri-kan, sehingga keberadaannya
di atas panggung hanya sampai pada tingkatan dekorasi tidak pada interaksi.
Pada adegan
Ruslan tidak mengeradikasi dan mengijabkan seluruh traktat Pak Bos untuk membangun
pabrik—keberadaan choral seolah terpisah, karena secara adegan yang bermain hanya Ruslan dan Pak Boss, padahal choral tersebut sama-sama masuk adegan, berada di area permainan, mereka
hanya diam tanpa memberikan impresi komunikasi apa pun terhadap situasi yang
sedang dibicarakan Ruslan dan Pak Bos. Pemetaan visual pun tidak tergarap
dengan baik, eksesnya aktor terlihat keteteran dalam mengatur blocking-nya. Kekurangtelitiannya sutradara
dalam menangani aktor, akhirnya simbol-simbol yang diproduksi oleh pertunjukan “Begig
Besi” hanya menjadi pohon sutradara yang buahnya tidak dapat dipanen oleh para
aktor.
Pengolahan tempo
pra-pertunjukan, sudah barang tentu tabib-nya adalah sutradara, kemudian setelah itu aktor mendaur-ulang racikan tempo milik sutradara. Dengan
begitu aktor dan sutradara ada bargaining keinginan. Ada komunikasi. Tempo
pertunjukan “Begig Besi” tidak mengusung pada dramatik yang dikonstruksi;
adegan kehilangan logikanya dan aktor kehilangan motifnya. Apa yang ingin
dibicarakan dalam pertunjukan tidak menemui rambu-rambu yang jelas, pertunjukan malah rajin memberi
tilang dan harus bayar denda dengan cara menikmati pertunjukan yang amat delay. Transisi satu adegan ke adegan
yang lainnya lebih banyak ruang spasial-nya, jika pun sutradara membentuk adegan per-adegannya menjadi ruang
spasial, sutradara mesti jeli dalam mempertimbangkan keketatan tempo dan ketepatan timing.
*
Perlawanan
Hatta hanya perlawanan niat dan tidak aplikatif. Ke-tragisan Bu Halimah hanya
kesakitan temporer. Sementara itu pembangunan akan terus terjadi sekalipun Bu
Halimah berkali-kali bunting. Sebab negara selalu menghilang apabila pemilik
modal sudah bicara. Kita sedang menunggu sebuah proklamasi baru dari negara
yang tidak memikirkan kaum marjinal. Atau jika pun tidak ditunggu, barangkali akan ada proklamasi dan sumpah baru dari segolongan kaum tertindas untuk
dilayangkan kepada kaum penindas. “Mau
senang kok ga sekolah, bego kalian!”, kalimat tersebut mengepung langit-langit panggung, suara yang entah perwakilan dari mana. Kalimat itu menutup seluruh pertunjukan "Begig Besi". Ah, memangnya sekolah itu
tidak bayar? Bayar to? Kalau bayar, mari kita rumuskan, apa itu sekolah untuk saat ini?