TEMPAT DUDUK UNTUK UJUNG YANG TAK DILIHAT

http://www.daunjationline.com/2016/03/tempat-duduk-untuk-ujung-yang-tak.html
Ganda Swarna
(Pertunjukan Ke-4 Pada FTR V: Teater Prabu, Kota Bogor – ‘Pilihan Terakhir’ | Karya: Resa L. Mahardhika, S.Pd | Sutradara: Dede
Muchlis)
![]() |
Foto: F.Five.D.D |
Percakapan kecil dibangku taman menjadi adegan awal Teater
Prabu dalam memulai pertunjukan “pilihan terakhir”. Percakapan ini terus
berkembang pada narasi-narasi tentang efek dari masalah sosial dan kemiskinan
menjadi sumber masalah keluarga. Menggiring Sahatman
yang masih remaja dan keluarganya pada satu strategi bertahan hidup dengan
menjual narkoba. Pada akhirnya ia dan ibunya mendekap di dalam penjara.
Pillihan terkhir dalam pertunjukan ‘pilihan terakhir’ ini ada
pada Sahatman (Wahyudin) yang ingin mengakhiri
hidup. Cara memandang masyarakat terhadap Sahatman, Polisi yang terus
mengejar-ngejar, tidak ada tempat untuk berdiam, adalah keadaan-keadaan yang
terus menyempit, menggiring Sahatman pada pilihan terakhir itu. Pilihan
terakhir bergerak pada menemukan alasan untuk memilih pilihan terakhir.
Pertunjukan ‘Pilihan Terakhir’ naskah karya Resa L. Mahardhika ini, di tangan sutradara (Dede Muchlis)
alur pertunjukan dibuat cukup lambat. Ruang dipersempit dengan pemisahan oleh cahaya
yang membentuk bundar pada setiap adegan. Alur yang dibuat lambat seperti ingin
mengatakan tentang kebosanan, keputusasaan, menunggu dan menunggu dalam keadan abu-abu dan ragu untuk
memilih.
![]() |
Foto: F.Five.D.D |
Sahatman, hadir sebagai remaja dengan banyak penderitaan.
Ayah dan ibu seorang bandar narkoba, adik yang cacat fisik hanya bisa duduk di
kursi roda, kekasih yang buta, semua
menjadi masalah yang membatu dalam hidup sahatman. Di akhir, Sahatman belajar melihat seperti
Gadis. Pilihannya ada pada bagaimana memberi kesempatan bagi kehidupan orang
lain, kesempatan hidup yang lebih baik
kepada gadis dan adiknya.
“Kaulah yang tidak bisa melihat Sahatman!
Aku melihatmu.....” dialog Gadis (Mahdalena) kepada Sahatman. Gadis yang tidak melihat
ini adalah corong yang ingin mengatakan bahwa ada yang salah dengan cara
melihat remaja saat ini, cara melihat Sahatman. Cara remaja yang mencari
jalan dengan jalan pintas dan selalu berakhir pada kesalahan dan penyesalan. Gadis,
remaja buta yang melihat tidak dengan mata tapi dengan apa yang dia dengar dan
rasakan. Apa yang Gadis pilih dan katakan tidak lahir dari cara mata melihat.
Gadis belajar dari titik kedalaman pada Sahatman dengan mata yang lain.
Gadis melihat harapan-harapan.
Sabir menangis, memanggil-manggil Sahatman dan ibunya pada
ruang yang dibangun dengan cahaya membentuk ruang bundar. Pada adegan terakhir,
Sahatman dan ibu tidak lagi bangun dan kembali dalam tidur mereka di penjara.
Gadis selalu ada untuk menenangkan Sabir. Gadis yang tidak lagi buta, ia bisa melihat. Tangis Sabir menjadi
gema yang terus mengajak bangun dan kembali, masih ada tempat duduk untuk ujung
yang tak dilihat.
good report
BalasHapus