LABYRINTH: KEMELUT EKONOMI, KEKACAUAN PANGGUNG DAN SEMOGA TUHAN MENGAMPUNI

http://www.daunjationline.com/2016/07/labirint-kemelut-ekonomi-kekacauan.html
John Heryanto
“Setiap orang punya
setannya sediri-sendiri yang disimpan di
loteng..” begitulah Armando berujar kepada Lina
ketika mendengar ” di rumah ini, di loteng sana, ada setan”. Loteng tiba-tiba menjelma menjadi tempat
paling rahasia yang memisahkan antara dunia yang ada disekitarnya. Ia tidak
hanya sekedar tempat tinggalnya Daniel semata, tempat ibu merawat ingatan akan
cintanya di waktu muda pada orang kereta
sebagai sebuah kehilapan. Tempat dimana Lena dan Laurent menggantungkan harapan
sejenis jemuran untuk hidup layak dan
banyak uang. Loteng sejenis kuil dimana
segala kenangan beserta mimpi-mimpi tersembuyi.
Labirint. Foto:John Heryanto |
Peristiwa di panggung
berjalan selama 80 menit dengan musik cepat seakan ingin mengatakan bahwa “
kami akan pergi dengan rombongan sirkus” namun sayangnya baik itu pertunjukan
sirkus, lamaran, pergantian hari, kegembiraan keluarga, dan lain sebagainya bunyinya
sama. Sedangkan gambar-gambar di panggung hadir sejenis sapuan kuas pada sebuah
kanvas, tak ada ketergesahan. Dan melalui uang dolar yang dihamburkan Armando
itulah peristiwa menarik dirinya ke dataran eropa yang dingin.
Hidup menjadi sejenis
ketakutan dan sia-sia, begitu pula hari-hari di rumah binatu. Rasa takut
inilah yang menjadikan setiap tokoh di dalamnya bersandiwara seperti pura
puranya Armando mencintai Yvone agar mendapatkan Daniel dengan harga murah,
Pura-pura baiknya Lena dan Laurent kepada Daniel agar dapat menjulnya kepada
Sirkus, dll. Selain itu hubungan diantara para tokohnya disandarkan pada motif
ekonomi, sejak adegan pertama dimulai sepulangnya dari pemakaman. Kecerewetan-kecerewetan
para tokohnya menyoal hidup yang layak, rahasia keluarga, masa depan usaha, dan
lain-lain untuk nikmat lebih.
Labirint. Foto: John Heryanto. |
Labyrinth menjadi
gambaran ketegangan dari gelapnya kebudayaan Eropa, ketidakberdayaan akan
kenyataan hidup serba kekurangan. Inilah disanggaged-nya Guerdon dimana
ketakmampuan menghadapi kenyataan mestilah diputuskan ‘akhiri atau lawan’ dengan
pertanda bangkitnya mimpi buruk Laurent sampai pada akhirnya membunuh Daniel di
Loteng.
Para aktor dalam pertunjukan
ini hadir dengan penuh totalitas meski sebagian memperlihatkan ketidakberdayaan
dirinya menghadapi teks yang dipikul sang tokoh akibatnya masing-masing aktor
kadang kala mengusung bahasanya sendiri- sendiri sebagai sebuah lalu lintas
yang tak pernah bertemu. Selain dari pada terpeleset dialog, belepotan dll
seperti diawal-awal kemunculan para tokoh Laurent (Toni), Armando (Nurviky),
Yvon (Yolan), Estel (Ai), dan Daniel (Feby) serupa berdoa menghadap loteng ketika Laurent
bersimpuh di tangga: “Semoga Tuhan Mengampuni”.