INTO THE WALL : SEBUAH PERTEMUAN ALTERNATIF

http://www.daunjationline.com/2016/10/into-wall-sebuah-pertemuan-alternatif.html
![]() | |
Salah satu dinding yang dimural dengan tajuk "Into The Wall" | (Foto: MCI/Daunjati) |
Ruang publik adalah bagian penting
dari kota, sebab di tempat tersebut masyarakat saling bertemu dan berinteraksi,
sekaligus merupakan simbol yang bisa digunakan untuk memahami kota dan
budayanya. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa ruang publik merupakan persepsi kolektif dan imajinasi masyarakat,
yaitu tempat di mana mereka bisa berkumpul, berjalan-jalan, berkendara, ataupun
berolah-raga. Di tempat itu masyarakat bertemu, berinteraksi dan berpartisipasi
dalam kehidupan keseharian dengan modus komunikasi berupa komunal party, kemudian sedikitnya kita dapat menyebutnya adalah “kota”.
Pembangunan tanpa diimbangi dengan
pertimbangan publiknya, maka akan menyebabkan ruang publik terkesan hanya
sebagai sisa lahan pembangunan. Pada sisa ruang-ruang publik inilah terjadi
perebutan tempat, baik oleh individu atau kelompok yang berkepentingan (baliho,
poster , atribut partai, pedagang kaki lima dan ormas). Ihwal kesadaran publik
menyoal “ruang” dalam konteks kepemilikan, masih menjadi PR bersama.
Street
artist dalam melihat sisa lahan yang tersisa (baca: dinding) selalu
dijadikan bahan eksplorasi berupa coretan, goresan, semprotan, tempelan, dan
lukisan dengan ragam imaji. Yang menarik pada fenomena street artist adalah, bagaimana senimanya mencoba mendekatkan seni
rupa dengan masyarakat, dengan
menempatkan karya yang dapat dinimkmati oleh publik paling awam sekalipun,
sehingga pembacaannya tidak memerlukan pendekatan yang berlapis atau dijejaali
dengan sekelumit teori-teori yang njelimet.
Street artist mencoba mencari
alternatif dari ketidakmampuan atau ketumpulan galeri seni dalam memberikan
edukasi yang konstruktif kepada masyarakat.
Pada kesempatan kali ini, dua puluh
seniman dihadapkan pada situasi publik yang berbeda, dinding yang disediakan
adalah dinding yang berada di kawasan kampus Institut Seni Budaya Indonesia
(ISBI) Bandung, yang mayoritas apresiatornya adalah mahasiswa seni. Berbeda
dengan kebiasaan seni mural atau grafiti pada umumnya, di mana cakupan
apresiatornya adalah masyarakat luas atau publik yang tidak dikondisikan
sebelumnya. Kini para ke-dua puluh seniman tersebut dihadapkan pada publik yang
lebih sedikit dan tentu memiliki “pemahaman lebih (?)” terhadap seni. Lantas
apa yang ingin disampaikan seniman kepada publik kampus, jika secara apresiator
adalah mahasiswa yang menekuni seni?
Hal ini menjadi tantangan dua puluh
seniman yang terlibat, bagaimana caranya setiap karya yang diciptakan selain
estetis juga bisa menjawab kekurangan yang tidak muncul dalam kegiatan
mahasiswa. Barangkali akan lebih baik jika fenomena mural di kampus ISBI ini terjadi
interaksi antara pengkarya dengan apresiator dikemas dalam bentuk diskusi, agar
menambah wawasan di antara keduanya.
Tajuk yang disajikan dalam kesempatan kali ini
mengenai youth culture (budaya kaum
muda). Ditinjau secara psikologi, Erik Erikson menerangkan bahwa youth culture adalah salah satu proses
di mana kaum muda mencoba menjawab sebuah pertanyaan “siapa aku?”, atau: Parsons (1951)
mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa ketika orang-orang muda transisi
dari ketergantungan pada orang tua untuk otonomi. Dalam keadaan fana ini, ketergantungan pada kelompok sebaya
berfungsi sebagai stand-in untuk
orang tua. Kemudian Burlingame menyajikan
kembali hipotesis ini pada tahun 1970, bahwa remaja menggantikan orang tua
dengan kelompok sebaya, dan bahwa ketergantungan ini pada peer group berkurang
sebagai pemuda memasuki usia dewasa dan mengambil peran orang dewasa[1].
Pada akhirnya frasa Into The Wall dipilih sebagai jembatan
pertemuan seniman secara pribadi terhadap objek karyanya, pertemuan antar
penggiat seni, dan pertemuan seniman dengan publik kampus tentunya. Into The Wall mencoba menjadikan
tali-penghubung cara pandang seniman street
artist dalam memaknai ruang publik secara luas, dan mahasiswa seni memaknai
kampus sebagai ruang pendidikan kolektif—yang diwujudkan dalam bentuk mural.
Agung
Eko Sutrisno
[kurator, mahasiswa seni murni ISBI
Bandung, 2015, dan wartawan magang LPM Daunjati]