NGENDOG : SEBUAH PERTUNJUKAN TEATER NUR

http://www.daunjationline.com/2016/11/ngendog-sebuah-pertunjukan-teater-nur.html
CATATAN SUTRADARA
(Dian Ardiansyah/Sutradara Teater Nur)
Gagasan
cerita Ngendog ini lahir dari teknik yang biasa kami lakukan di Teater Nur,
yaitu membuat pohon permasalahan, lalu pohon masalah itu menghasilkan premis,
dan kami mengerjakan cerita via gagasan-gagasan yang dibuat menjadi pohon
masalah tersebut. Saya tidak pernah akan menyangka bahwa kumpulan gagasan itu
akan menjadi pertunjukan yang kami sajikan ini, akan tetapi bagi saya sebagai
sutradara, itulah justru hal yang menarik dari proses-proses yang kami lakukan
di Teater Nur. Telah dua kali ini kami melakukan proses produksi yang dimulai
dari nir gagasan, artinya, seluruh personil turut andil dalam pembangunan
pondasi pertunjukan berupa gagasan awal.
Gagasan
ini yang kemudian saya interpretasikan ke dalam bentuk naskah, karena sebelumnya
kami hanya baru mendapatkan kerangka plot utama saja dari proses pembuatan
pohon masalah. Proses berikutnya adalah mengemas pertunjukan yang kemudian
melahirkan subtext lain dalam latihan, seperti misalnya judul “Ngendog” ini
dipilih karena memiliki multi arti yang juga akan membantu penonton nantinya
untuk memaknai simbol-simbol yang hadir di pertunjukan. Ngendog tidak hanya berarti bertelur dalam arti yang sebenarnya, ia
bisa juga berarti mendiami sebuah tempat, dan bisa juga berkonotasi untuk
sesuatu yang tidak produktif. Pada kelanjutannya makna-makna tersebut kemudian
menghadirkan simbol dan penceritaan yang juga akan menimbulkan tafsir ganda dan
konteks riil yang sedang terjadi atau bahkan telah terjadi di masyarakat. Ia
berusaha menangkap momen-momen yang mungkin tidak hanya meminta penonton untuk
sekedar merenungkannya, akan tetapi juga lebih dari itu, pada tataran aksinya.
Proses
ini bukan hanya sekedar latihan teater bagi saya sebagai sutradara, tetapi juga
lebih dari itu, kami berusaha menggali hal-hal yang mungkin luput dari latihan
teater di sekolah-sekolah selama ini, yaitu pemaknaan. Bukan sekedar memaknai
proses kesenian saja, tetapi ada banyak konteks yang bersifat kontemplatif bagi
para pemain, makna yang bersifat personal namun berdampak pada ruang sosial
mereka. Hal-hal yang cukup sederhana namun punya posisi penting seperti apa itu
respek, atau bagaimana menghargai waktu, atau bagaimana memaknai sebuah wacana
via pertunjukan teater. Hal-hal seperti ini bagi saya sebagai sutradara jauh
lebih menarik dibandingkan proses penggarapan naskah ini sendiri mengingat
aktor-aktor yang saya mainkan ini mayoritas duduk di kelas X dan adalah
pemain-pemain pemula.
Di
dalam naskah ini, sebenarnya banyak sekali permasalahan yang kami “capture” dan ia berseliweran di dalam
adegan-adegan dan dialog-dialog para aktor. Kami berangkat dari kritik terhadap
fungsi mitologi dalam masyarakat yang terkadang diyakini berelebihan, jauh
melebihi kitab suci sehingga muncullah sekte-sekte aneh bin ajaib yang kemudian
memiliki otoritasnya walaupun hanya sebatas sepetak tembok, lalu ia berkembang
menjadi isu hubungan asmara sejenis yang seolah-olah telah dilegalisir oleh
masyarakat kita yang mulai bergeser menjadi liberal, lalu ia bergulir lagi
menjadi kritik terhadap masyarakat pemarah yang bermental gangster, dan
berkembang menjadi sebuah mitologi baru dari mitologi yang pernah ada. Ya,
mungkin kami tidak hanya sekedar menciptakan naskah yang kemudian jadi
pertunjukan. Lebih dari itu, kami ingin membuat sebuah mitologi baru. Sebuah
mitologi baru yang harapannya tentu saja bukan untuk diyakini sebagai
kepercayaan dan penyembahan, akan tetapi mitologi yang kemudian bisa menjadi
cermin bagi masyarakat agar melakukan otokritik terhadap apa yang sedang
terjadi pada budaya mereka sendiri, baik yang berasal dari masa lampau, maupun
yang sedang mereka hadapi di depan mata.
SINOPSIS NGENDOG
Sebuah
desa yang bernama Desa Anteh dilanda kebingungan massal karena Kepala Desa
mengabarkan kepada warganya bahwa ternyata, tanpa mereka sadari, desa mereka
sudah tidak lagi memiliki lelaki. Lelaki terakhir di desa mereka telah pergi
seperti para lelaki terdahulu untuk mencari emas ke Gerbang Impian. Padahal
mereka semua tahu, tidak ada seorangpun dari lelaki itu yang pernah kembali
lagi ke desa setelah pergi ke sana. Disaat kebingungan dan ketakutan itu,
mereka semua bersembunyi di rumah-rumah mereka karena takut diserang oleh desa
lain. Tetapi tiba-tiba, datanglah seekor ayam betina yaitu Bikang yang
merupakan peliharaan Nini Anteh – ia sedang ditugasi Nini Anteh untuk melihat
kondisi Desa Anteh, sementara pasangannya Jalu ditugaskan untuk menyampaikan
berita kepada lelaki di desa lain untuk datang dan melamar perempuan dari Desa
Anteh – ke desa tersebut. Tanpa disangka-sangka justru ia ditangkap dan
disembelih, lalu dagingnya dimakan oleh seluruh warga desa karena mereka sudah lama
tidak makan daging, termasuk Pitak – tokoh cerita ini – dan ibunya turut
memakan daging si Bikang. Setelah memakan daging Bikang, mereka semua mengalami
sakit perut yang hebat dan hasrat untuk buang hajat tidak bisa ditahan lagi.
Malam tiba, Pitak dan Ibunya didatangi oleh Bikang didalam mimpi mereka. Bikang menjelaskan bahwa ia sebenarnya bukanlah ayam walaupun ia berwujud ayam. Ia akan mengutuk desa tersebut apabila mereka tidak memenuhi syarat yang ia ajukan. Pitak dan ibunya ketakutan mendengarnya, lalu mereka segera menanyakan syaratnya. Bikang menjelaskan bahwa akan ada seekor ayam jantan yang datang ke desa mereka dan mereka tidak boleh membunuhnya. Pitak dan Ibunya menyanggupi persyaratan tersebut.
Ketika Jalu datang ke desa itu, ia kemudian ditangkap oleh warga, lalu warga memintanya untuk memberikan mereka lelaki. Jalu menyanggupinya, asal ia diperlakukan istimewa di desa itu. Sebenarnya Jalu dan Bikang menyalahi perintah yang telah diberikan. Singkat cerita, Jalu kemudian disembah oleh warga desa dengan panggilan Yang Mulia Ayam Jantan. Tak berapa lama, Nini Anteh mengetahui perilaku Jalu yang telah menyalahi aturan tersebut. Ia kemudian mengutuk Jalu, Jalu kemudian bertelur. Setelah bertelur, Jalu malah memainkan skenario baru untuk mengelabui warga. Ia meminta Pitak untuk memakan telur tersebut dengan janji bahwa Pitak akan hamil dan melahirkan anak lelaki yang mereka tunggu-tunggu.
Bagaimana
kemudian nasib Desa Anteh? Apakah kemudian semua akan berjalan mulus?
Jawabannya akan ditemukan di dalam pertunjukan berjudul “NGENDOG” ini.
[Mohamad Chandra Irfan]
[Mohamad Chandra Irfan]