KURSI-KURSI SATU LAMPUNG: MIGRASI BAHASA MENGELAK IONESCO SEBAGAI KEWAJARAN.

http://www.daunjationline.com/2017/01/kursi-kursi-satu-lampung-migrasi-bahasa_10.html
John
Heryanto
Salah satu fragmen "Kursi-Kursi" Teater Satu Lampung. Foto: John Heryanto |
Apakah ada kebahagian
dalam hidup? Jika ada, mengapa mesti menjalani penderitaan? Begitulah kiranya “Les Chaise”
ditulis Eugene Ionesco paska Perang Dunia II, ketika kematian berkali-kali
menghampiri dan tanpa bisa dihindari. Maka tak ada cara lain untuk menjalani
hidup selain bunuh diri, dengan begitu si kakek-nenek terbebas dari yang bernama
hidup. Bukankah pada waktunya semua orang ketika hidup bahagia atau menderita
juga akan mati, lantas mengapa bunuh diri? Bunuh diri disini tentunya tidak ada
hubungannya dengan bahagia dan menderita sebab semuanya akan menemu kamatian. Kesadaran
pada sesutau yang tak terpikirkan itulah yang kemudian disebut sebagai
absurd-nya “Les Chaise” Ionesco.
"Les
Chaise” yang bermula dari yang dibaca oleh pembaca di kamar,
menjadi yang ditonton di panggung. Begitu juga “Les Chaises” yang diterjemahkan Yudi Aryani dan dipentaskan Teater
Satu Lampung di GK. Sunan Ambu Institut Seni Budaya (ISBI) Bandung, dengan sutradara
Iswadi Pratama (10/1/17). Pada setiap
perpindahan itulah dari yang dibaca menjadi yang dilihat sekaligus
diterjemahkan. Kesemuanya tentu saja akan mengalami berbagai perubahan ‘migrasi
estetik’ sesuai dengan bahasanya sendiri-sendiri sehingga menjadi “Kursi-Kursi”-nya Iswadi. Lantas bagaimanakah Ionesco ditangan Teater Satu
Lampung?
“Kursi-Kursi”
tentunya
tidaklah sama dalam cara pengungkapan pikiran para tokohnya dengan “Kereta
Kencanya”-nya WS. Rendra, meski sama-sama bersumber dari “Les Chaise”. Kematian dalam “Kereta Kencana” hadir sebagai sebuah kepasarahan dalam menjalani hidup, bahwa mati merupakan
kehendak dari yang kuasa begitu juga
dengan persoalan keduniaan ‘fatalism’ seperti menunggu kedatangan kereta yang
akan membawa pergi ke dunia yang tak pernah diketahui sebelumnya. Tapi Bagi Ionesco
“Les Chaise”, mati sia-sia atau bunuh diri merupakan sesutau yang tak dapat
diterjemahkan dengan pikiran sebab dalam diri para tokohnya ada kesadaran akan hidupnya sendiri sehingga
setiap waktu yang dijalani menjadi lonceng ketidak mengertian atas kenyaatan
yang dijalani.
Sedangkan Iswadi
Pratama dalam “Kursi-Kursi”-nya Teater Satu Lampung dengan memilih Puzzle
sebagai strategi pemangungan berdasarkan potongan-potongan kenangan para
tokohnya sehingga menjadi fragmen-fragmen kecil yang saling berkaitan. Pada setiap
fragmennya, tokoh berganti-ganti dengan karakter dan pengalaman dan ingatan
yang berbeda dalam hidupnya tatapi memiliki semangat yang sama bahwa hidup
adalah harapan itu sendiri. Maka kematian merupakan sebuah kesalahpahaman antar
tokoh yang menyebabkan dirinya saling mencekik leher, sebuah kecelakan dari
yang namanya hidup atau permainan dalam menjalani kenangan hari tua. Hal ini
tentunya berdeda bila dibandingan dengan “Les Chaise” dimana tokohnya ketika
sadar menjalani hidup yang hampa, sia-sia dan menderita maka loncat ke jurang
bunuh diri merupakan sebuah ketidakmengertian, sebab ketika sadar hidup itu
menderita maka sang tokoh seharusnya berusaha untuk menemukan kebahagiaan dan
bukan berakhir dengan kematian yang konyol.
Salah satu fragmen "Kursi-Kursi" Teater Satu Lampung. Foto: John Heryanto |
Dalam masyarakat
timur sendiri khususnya Jepang, apa yang disebut sebagai ketidakmengertian,
keganjilan, tak masuk akal, ketidak sempurnaan dan lain sebagainya yang saling bertolak belakang dan tidak ada
kaitan sama sekali dan tidak pasti. Bukanlah sesuatu yang ‘absurd’ melainkan sebagai ‘wabi-sabi‘.
Strategi ini pula
yang dipakai Iswadi dalam menghadirkan “Kursi-Kursi” melalui main-main, dimana kehampaan hidup dan penderitaan
hadir sekaligus dengan kebahagian itu sendiri. Meski pada akhirnya, harus menghadapi kematian akibat kesalahpahaman dalam permainan kenangan. Setidaknya,
disana pernah atau mungkin masih tumbuh harapan hidup yang tersisa dari penderitaan meski sebatas main-main. Atau yang Yulden sebut sebagai: ‘yang bertolak dari koan
Zen’[1]. Begitu
juga dengan berbagai pertentangan dan tidak saling berkaitan antara satu dengan
yang lain, chaos dan tak beraturan dan terus berubah-ubah. Bagi orang
Indonesia sendiri bukanlah sesuatu yang ‘absurd’ melainkan sebagai bagian dari kosmologi atau: ‘sejatinya sebuah kebudayaan…’[2]. Sehingga
wajar kiranya bila Iswadi Pratama mengelak dari Ionesco. Setidaknya ‘Kursi-Kursi’
telah seutuhnya mejadi milik Teter Satu
Lampung yang tidak lagi bicara soal apa yang disana ‘ Kebudayaan Eropa’ tapi
menjadi yang disini, dimana kata absurd
tak pernah ada dalam kebudayaan timur.
[1]
Ahmad Yulden Erwin ‘Teater Post-Absurd “Pilgram” dan “Kursi-Kursi” Menyelami
Sejarah Tuhan dan Patafora” Makalah diksusi "Membaca Pilgram dan Kursi-Kursi
dalam Sejarah Tuhan dan Patafora” di GK.
Sunan Ambu ISBI Bdg, hal.8
[2]
Jakob Sumardjo ‘Estetika Paradok’ Sunan Ambu Pers, 2006. hal 222.