ORASI TEATER TANPA JUDUL*

http://www.daunjationline.com/2017/01/orasi-teater-tanpa-judul.html
Oleh :
Irwan Jamal
Hari-hari ini, sejak isu tentang perang global, isu kepemimpinan, pilkada dan pemilu dihembuskan, kita seolah masuk pada sebuah labirin perangkap yang menyeret kita pada sebuah medan perseteruan, pertikaian dan permusuhan. Labirin tak berujung ini tercipta karena abad informatika telah mendorong semua informasi untuk berseliweran dalam kepala kita. Kemudian semua orang menjadi pengamat dan sekaligus menjadi yang diamati. Menjadi subjek sekaligus menjadi objek. Di dalam labirin abad informatika, selain di dunia nyata, medan perseteruan berlangsung dan digelar di dunia maya. Ketegangan juga berlangsung di alam tak nyata.
Labirin yang tercipta di hari ini dan juga hari
kemarin, bukan tidak mungkin akan terus mengekalkan cengkramannya sehingga
ketersesatan kita semakin nyata. Cengkraman jaman telah membuat kita berada di
persimpangan jalan yang asing tidak kita kenali. Kita berada pada satu jalan
dimana kita kebingungan memilih satu jalan yang kita yakini. Kita pingsan dan
siuman di persimpangan jalan. Kekal dalam kemabukan. Tidak sadar dan tidak
mengenali jalan sendiri dan asyik menjelajahi jalan-jalan dalam labirin tak
bertepi.
Kemudian, waktu berlalu, pikiran kita berganti,
hati kita berganti, jiwa kita berganti dan kita lupa pada hakekat pekerjaan
kita sebagai penggiat seni. Kita menjadi lupa dan menjadi orang gila yang
miskin papa di persimpangan jalan, lupa pada jalan di masa lalu dan jalan
menuju masa depan.
Maka sadarlah wahai saudara-saudaraku... Kita
adalah penggiat seni, dan sesungguhnya seni telah menyediakan dan menunjukkan
satu jalan di dalam jutaan jalan yang telah ditawarkan oleh abad informatika
ini. Satu jalan terampuh, teruji dan paling diyakini kebenarannya bagi seorang
penggiat seni adalah; Berkarya. Tidak ada jalan lain kecuali berkarya.
Namun, bergerombol orang yang tidak percaya
menyangkalnya. Mereka mengatakan situasi dan diri yang terpecah telah hadir di
dalam diri kita sendiri. Dan karena kita menjadi diri yang pecah, maka teater
yang kita geluti dengan sendirinya berwajah pecah.
Lalu, apakah teater sudah tidak memiliki fungsi
sosial dan tidak memiliki daya guna, sehingga banyak seniman yang lebih percaya
pada panggung-panggung dunia maya daripada panggung-panggung yang nyata? Dan
jika memang teater telah terkikis fungsi sosial dan daya gunanya, lalu mengapa
kita masih memilih menjadi orang teater? Mengapa kita berada di sini? Mengapa
kita tidak berada di kampus atau sekolah jurusan ekonomi, kedokteran,
matematika, keguruan, antropologi, sejarah, sastra, budaya, bahasa, atau
jurusan-jurusan lainnya. Mengapa kita berada disini memilih kampus seni dan
jurusan teater sebagai rumah tempat bernaung dan tumbuh berkembang. Adakah
jalan lain yang bisa kita temukan seandainya kita tidak memilih berada di
institusi seni dan jurusan teater?
Saya harus menjawab sendiri pertanyaan saya sebelum
jidat saya terbentur dinding kegelisahan tanpa akhir. Jawaban saya, jika teater
masih menjadi pilihan maka itu berarti kita percaya bahwa teater dan seni
secara keseluruhan masih kita yakini memiliki fungsi sosial dan daya gedor yang
hebat untuk perubahan yang lebih baik di masyarakat. Kita sudah memilih. Kita sudah berada disini.
Menjadi orang yang belajar disiplin ilmu teater di bangku pendidikan perguruan
tinggi. “… Dalam hidupmu yang hanya sekali, kau harus memilih, di lintasan mana
kau akan berjalan”, kata Jean Paul Marat dalam naskah Marat-Sade karya Peter Weiss.
Tapi teater seperti apa sebenarnya yang memiliki
fungsi sosial dan daya guna?... Teater yang memiliki fungsi sosial dan memiliki
daya guna adalah teater yang berjuang dan mempersembahkan karyanya untuk
masyarakat. Teater jenis ini adalah teater yang sungguh-sungguh, teater yang
serius menancapkan namanya sebagai teater. Teater yang sungguh-sungguh tidak
akan melakukan manipulasi selera massa untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan keuntungan semata. Teater
yang sungguh-sungguh tidak akan menjadikan masyarakat sebagai objek yang pasif
yang dimanipulasi dan diexploitasi. Bukan sekedar teater penghibur bagi orang
yang patah hati atau petualang-petualang yang membutuhkan onani emosional.
Bukan.
Teater yang benar di masa kini adalah teater yang
serius dan aktif menenemukan dan menyusun nilai-nilai baru maupun ungkapan
estetika tercanggih. Saini KM, salah seorang founding father jurusan teater pernah mengatakan bahwa; Penciptaan
teater palsu bersifat manipulatif dan exploitatif, sedangkan penciptaan
karya-karya seni serius bersifat kreatif-exploratif.
Lalu apakah teater yang sedang kita geluti sekarang
ini sudah masuk pada kategori yang serius menggeluti nilai-nilai tertinggi dan
bersifat kreatif-exploratif?
Jika kita masuk pada ketegori ini maka saya yakin,
teater kita akan memiliki fungsi dan daya guna yang kuat bagi kemajuan
masyarakat. Teater kita akan dinanti-nanti dan dikunjungi oleh penonton karena
teater kita adalah teater yang merupakan bagian dari masyarakat. Dan tumbuh
kembangnya teater jenis ini adalah merupakan tanggung jawab jurusan teater yang
secara tidak langsung merupakan penerima mandat dan penerima subsidi dari
pemerintah dan masyarakat untuk menjaga dan merawat teater sehingga menjadi seni
yang agung dimana teater telah dipercayakan untuk dilembagakan dalam lembaga
kampus seni.
Dan Keluarga Mahasiswa Teater, sebagai sebuah
organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang teater dan berada di sebuah
institusi berlabel seni dan memiliki jurusan teater seyogyanya memiliki juga fungsi
yang berarti. Organisasi mahasiswa yang kritis dan bisa mengkritisi dirinya
serta lingkungannya adalah organisasi mahasiswa yang memiliki fungsi yang
jelas. Bagaimana mungkin kita tega membiarkan rumah kita hancur sedikit demi
sedikit? Runtuh perlahan sehingga yang tinggal di masa depan hanya puing-puing
saja dan sebuah nisan sebagai penanda kematian. Kita tidak ingin menjadi Hamlet
dalam Hamlet Mesin karya Heiner
Muller yang berkata dan berbicara dengan ombak sambil mengenang masa lalunya di
atas panggung ; “ Aku dulu Hamlet, aku berdiri di pantai dan berbicara dengan
hempasan gelombang ombak, bla bla bla, di belakangku reruntuhan…. Lonceng
mendentangkan kematian, pembunuh dan janda berpasangan, anggota dewan berbaris
tegap di belakang peti mati yang mulia, siapa mayat dalam kereta jenazah? Untuk
siapa teriakan dan keluhan yang banyak itu? Itu adalah mayat yang mulia,
barisan rakyat di kedua sisi jalan adalah karya politiknya, dia tadinya lelaki,
mengambil semua dari semuanya…“.
Suyatna Anirun telah meninggal. Rendra telah
meninggal. Teguh Karya telah meninggal. Arifin C. Noer telah meninggal, dan
sederet nama orang-orang yang berjasa meletakkan dan menegakkan pilar-pilar teater
telah menjadi daftar orang-orang yang meninggalkan kita, dan di belakang daftar
nama ini berbaris antri nama-nama lain yang akan meninggalkan kita.
Saudara-saudara… Orasi ini tidak akan saya arahkan
kepada tema tentang orang-orang yang meninggal. Saya bukan tipe orang yang
terlalu layu dan berlarut-larut jika membahas tentang orang yang meninggal. Tidak!
Yang ingin saya kemukakan disini ketika saya menyebutkan nama-nama besar dalam
dunia teater yang telah meninggalkan kita ini adalah soal dampak, sekali lagi
soal dampak, dampak yang ditimbulkan sepeninggal tokoh-tokoh besar ini.
Mari kita perhatikan, bagaimana wajah teater
sepeninggal mereka, dan saya mengklaim, inilah yang menjadi sumber kegelisahan
orang-orang teater di masa kini yang memahami sejarah teater di masa lalu. Yaitu,
kegelisahan akan jelas nampaknya ketercerabutan teater dari akarnya.
Sepeninggal mereka, teater menjadi pohon yang penuh hama dan kutu. Dan di bawah
pohon teater yang penuh hama dan kutu itu, bernaung para penanamnya; petualang-petualang,
kaum snobis, para penggemar nostalgia, orang-orang yang malas untuk proses dan
orang-orang yang sudah kehilangan daya untuk memperjuangkan masyarakat,
merekalah para penanam dan pemelihara serta penyebar hama dan kutu di pohon
teater. Dan di bawah pohon ini saya bermimpi buruk; saya memimpikan
sekolah-sekolah teater yang hancur, jurusan-jurusan teater di seluruh Indonesia
membangkai, menjelma menjadi hanya sekedar puing-puing sejarah. Dalam mimpi
buruk itu, saya menemukan jurusan teater menjelma menjadi bagian dari
universitas orang-orang mati.
Tapi saya tidak selalu bermimpi buruk, dan di antara
pohon-pohon yang ‘sakit’, masih banyak pohon-pohon segar dan sehat. Batangnya
kuat, daunnya hijau dan rimbun, buahnya manis bermanfaat sebagai hasil dari
cara dan perawatan yang baik…. Para penanam dan perawat pohon teater yang
‘sehat’ ini adalah orang-orang yang memiliki daya hidup memperjuangkan dirinya
agar memiliki tradisi keaktoran yang kuat, haus dan gemar akan ilmu
pengetahuan, memiliki hasrat besar pada proses dan explorasi untuk menemukan
nilai-nilai seni teater, selalu bekerja dan membina hubungan dengan orang-orang
yang memiliki visi dan misi untuk membangun teater menjadi seni yang
bermartabat dan melakukan segala hal yang didapat dari pengetahuan yang dia
miliki, serta menempatkan teaternya sebagai alat perjuangan bagi kemanusiaan
dan dunia yang lebih baik. Di pohon inilah saya mendapatkan mimpi indah. Surga
yang penuh warna dan keindahan serta harapan akan masa depan.
Begitulah sudara-saudaraku, keluargaku di KMT.
Ingatlah satu hal… Sejarah dan perubahan datang
tiba-tiba dan tidak terduga. Seringkali manusia terlambat menyadarinya. Dan
penyesalan selalu datang terlambat. Ketika nasi telah menjadi bubur, kita tak
akan bisa mengembalikannya menjadi nasi. Sebelum semuanya terlambat diperlukan
kesadaran dan kewaspadaan sejak sekarang. Segeralah membaca situasi yang
terjadi. Setiap perubahan yang terjadi di dunia ini hanya ada di tangan
anak-anak muda. Orang tua lebih cenderung mempertahankan situasi agar tidak
berubah. Dan percayalah Jalan Seni adalah Jalan Perubahan. Jelajahi seni tanpa
batas, dari yang terlembut sampai yang terkasar, dari yang radikal bahkan
brutal jika itu diperlukan untuk mencapai hasil yang maximal. Bangunlah kalian
wahai para perubah! Rubahlah dunia teater menuju dunia yang lebih baik. Di
mimbar ini saya menyerukan agar kita merubah situasi yang membeku ini. Gunung
es kebekuan ini harus diberi api agar meleleh dan mencair. Jadilah kalian api
yang membakar! Jadilah anak-anak muda yang penuh gelora. Panjang umur perjuangan! Panjang umur
kesenian! Panjang umur teater! Panjang umur Keluarga Mahasiswa Teater! Viva
teater!
Bandung, 21 Januari 2017
* Disampaikan
pada acara “Malam Keakraban’ (MAKRAB), Sertijab dan Pelantikan Ketua Keluarga Mahasiswa
Teater (KMT) ISBI Bandung, periode 2017-2018, Sabtu 21 Januari 2017 di Gedung
Olah Seni Patanjala Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.