SENANDUNG TUBUH: SAWAH TIADA, TUBUH ABI PUN BICARA

http://www.daunjationline.com/2017/04/senandung-tubuh-sawah-tiada-tubuh-abi.html
![]() |
Foto : Mohamad Chandra Irfan |
![]() |
Foto : Mohamad Chandra Irfan |
Bandung,
Daunjati — Tubuhnya yang kecil, bajunya yang kumal, menarik nafas
panjang-panjang. Suaranya yang belum pecah, sebelum berganti menjadi suara khas
remaja tanggung, mengggema ke seisi ruang dan gendang telinga penonton. Tangannya
yang juga tidak terlalu besar, sempoyongan membawa batang pohon yang pendek
dengan diameter berukuran sedang. Gerakan tubuhnya meliuk ke arah kanan dan
kiri, sesekali juga berdiri di satu titik akan tetapi tangannya tak henti menghentak
ke arah atas kanan dan kiri. Sementara itu, daun padi yang segar, berwarna
hijau, tegak berdiri mengelilingi penari yang seorang diri. Di lantainya, biji-biji
padi terhampar. Peristiwa tersebut adalah pertunjukan dari Wajiwa Creative Home
berjudul “Senandung Tubuh” besutan
koreagrafer Alfiyanto, Selasa (4/4/2017) malam hari, di Teater Kebun, sebagai
salah satu pengisi dalam acara Hari Teater Sedunia yang diselenggarakan oleh
Keluarga Mahasiswa Teater (KMT) ISBI Bandung.
Penari Wajiwa tersebut
bernama Abi. Kita akan menyangka bahwa Abi adalah orang dewasa, seperti
lazimnya penari kontemporer biasanya adalah orang dewasa. Abi belum sampai ke
usia dewasa. Ia masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah dasar (SD). Berlatih menari
bersama Alfiyanto atau kerap dipanggil Uda sejak dirinya masih duduk di bangku
Taman Kanak-kanak (TK). Abi menari cukup luwes. Sedikit pun tidak ada keraguan
dari setiap gerak yang dilakukannya. Suatu saat Abi ingin seperti gurunya, Uda
Alfiyanto, dosen Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Seni Tari, Institut Seni
Budaya Indonesia Bandung.
Dalam pertunjukannya,
Wajiwa selalu mengeksplorasi tautan tubuh dengan lingkungan, bahkan dengan
spiritualitas. Dalam karya sebelumnya, Wajiwa menampilkan pertunjukan yang
berkait-kelindan dengan persoalan ruang hidup, “Melawan Arus”, bagaimana tubuh-tubuh si penari melawan ruang hidup
yang direbut oleh korporat, misalnya keberadaan sawah digantikan oleh
perumahan. Rupanya Wajiwa kali ini membawa suasana yang berbeda ke hadapan publik,
di mana anak kecil sudah diperkenalkan tubuhnya supaya dapat berbicara terhadap
realita yang terjadi di sekitarnya.
Baca Juga: Koreografer / Menuju Kematangan Koreografi*
Pertunjukan yang berdurasi sekitar 30 menitan tersebut membawa peristiwa yang dialami sendiri oleh Abi. Daun padi menjadi sangat penting keberadaanya dalam pertunjukan Senandung Tubuh tersebut, karena jika dilihat dari konteks yang dihadapi oleh si penari, terdapat kontradiksi yang cukup kentara. Abi adalah orang asli Ciganitri. Saat ini daerah Ciganitri bukan lagi lahan hijau, di mana sawah terhampar luas. Kini yang terhampar luas adalah sawah beton, bernama perumahan. Kondisi tubuh yang mengalami keterhimpitan tersebut menjadikan masa kecil pengap dan penuh kesenjangan. Bisa dibayangkan, sawah adalah mata rantai dalam ekosistem tumbuh-kembangnya psikis anak kecil; di sawah, yang itu siapa pun pemiliknya, anak kecil akan asyik main di pematang, sepulang sekolah atau menjelang sore hari tiba. Akan tetapi lahirnya perumahan, konsepsi ruang sudah bergeser jauh; menjadi jauh lebih privat. Sehingga pertumbuhan psikologi anak menjadi pribadi sangat tertutup, a-sosial dan lahirnya budaya dekaden; invidualistik.
Abi, Uda dan Sawah yang Tiada
Selain suguhan
koreo yang dihadirkan oleh Abi, senandung menjadi ‘teks’ yang tidak bisa
dipisahkan dalam pertunjukan Senandung
Tubuh. Pada senandunglah suara kesakitan itu muncul cukup kental. Tubuh Abi
pun tersungkur berkali-kali, tapi bukan tersungkur karena menakzimi sawah atau
padi, akan tetapi tersungkur karena terpental oleh kondisi yang melingkupi
dirinya. Tubuhnya digonjang-ganjing oleh kondisi di sekitar rumahnya. Bisa dibayangkan,
setiap pembangunan perumahan bersakala kecil maupun besar selalu ada alat
berat, berukuran besar, yang bernama beko. Bisa juga kita bayangkan, alat besar
yang bernama beko tersebut mempunyai dampak yang buruk, suaranya yang bising—membuat
suasana perkampungan tidak lagi tenang, akan tetapi terus menerus menelurkan
polusi suara.
Karena begitu, biji-biji
padi yang terhampar, Abi lempar ke setiap penjuru. Dengan tak lupa suara
erangannya mengiringi saat padi dilemparkan. Lalu, setelah tubuhnya tersungkur,
terbanting—masih dalam pertunjukan, Abi pun membelakangi penonton. Ia guyur tubuhnya
dengan tanah, seketika tubuhnya menjadi coklat pekat. Sambil berputar ke
hadapan penonton kembali, tangannya memegang pistol, sambil juga mengais lagi batang
pohon. Matanya menatap tajam. Bagian tangan yang memegang pistol, ia hentakkan
ke penonton. Lazimnya, korporat di mana pun—untuk memuluskan proyek
pembangunan-nya, ia akan menghadirkan aparat, karena dengan begitu rakyat
dikondisikan untuk tidak membangkang dan melawan kesewenang-wenangannya.
Di tubuh Abi, dalam jeruji perumahan, sawah itu masih ada. Usia bukan satu halangan
untuk Abi menyuarakan ketimpangan sosial di sekitarnya—Abi telah
membuktikannya. Senandung Tubuh,
selain kaya akan gerak, kayak juga akan makna. Uda Alfiyanto sebagai
pengampu telah berhasil menelurkan semangat kritis pada Abi, lewat tubuh. Tepat
di tengah panggung, ketika Abi diam, lampu mulai menyusut padam. Penonton tepuk
tangan—setelah itu sebuah pesan mengetuk kita yang punya akal sehat dan
perasaan; beranikah kita melawan penindasan? Setelah berani, mau kapankah kita melawan penindasan? Karena kenyataan mesti dirubah dengan segenap perlawanan. Dan kesenian akan memperindah perlawanan apabila di dalamnya meninggikan kemanusiaan. Setelah kemanusiaan meninggi, maka kesenian akan menemukan lagi fungsinya, yakni, sebagai jalan pembebasan umat manusia dari ketertindasan.