BAHASA DARI JEMURAN DAN KERUMUNAN TEKS

http://www.daunjationline.com/2017/08/bahasa-dari-jemuran-dan-kerumunan-teks.html
[Catatan
pertunjukan Pooh – Pooh Somatic; On Crowd of Biographies - Kalanari Theatre Movement]
:John
Heryanto
Pertunjukan "POOH-POOH SOMATIC; On Crowd of Biographies"- Kalanari Theatre Movement. Foto: John Heryanto |
Pada adegan pertama
inilah. Batas antara bahasa sebelum kata-kata dengan kata-kata itu sendiri
menjadi tipis. Apakah kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut aktor tidak disebut
sebagai kata? Atau hanya sekedar suara, bunyi atas respon ruang, keterdesakan komunikasi ketika tubuh tidak
lagi sanggup menyapa yang lain. lantas darimanakah ia menemukaan bunyi dalam
mulut? Situasi apakah yang dialami sang
pelakon diawal pertunjukan, sehingga ia meninggalkan tubuhnya (bahasa isyarat,
bahasa tubuh, gerak, dan lain-lain) menitipkan kondisi pada kata-kata dalam
mulutnya? Kemanakah ia akan merajut dirinya diantara muntahan biografi?
Pertunjukan "POOH-POOH SOMATIC; On Crowd of Biographies" - Kalanari Teatre Movement. Foto: John Heryanto |
Pertunjukan `Pooh-Pooh Somatic’ di PKKH-UGM
Yogyakarta (22/08/17) bertolak dari
situasi pecahan-pecahan biografi pelakon
yang direkayasa oleh teks ruang, kondisi dan situasi kekinikan pelakon serta
manipulasi biografi oleh sutradara. Berdasarkan pendekatan pooh-pooh dari Max Muller guna menemukan bahasa yang paling primitf
dari teater. Percobaan Kalanari Theatre yang dimulai sejak tahun 2014 dengan pentas
perdana "Yo-he-ho’ Site" ditahun lalu.
Sepanjang pertunjukan
‘Pooh-Pooh Somatic’, laku para
pelakon begitu juga dengan benda-benda yang ada (pakian) saling merumuskan
diriya bersama ruang, dan situasi yang tumbuh, bertubruk, saling merengkuh, chaos
dan skizoprenik. Pakaian bisa menjelma menjadi apa saja, begitu juga dengan
tubuh. Ia tidak semata soal daging dan benda. Sesuatu yang senantisa dipilah
dan ditelisisk, dicuci, dibersihkan, dikeringkan. Sebelum benar-benar dapat
dikenakan, jika pun ia dapat dikenakan, belum tentu pula akan dipegang sebagai yang
mesti dan lekat. Melalui stategi repetitip dan monoton itulah Ibed memertanyakan bahasa.
Berulang dan berulang
kali; pekik dari gerombolan pelakon, melintas dan mengkaitkan dirinya dalam
pakaian. Komunitas manusia yang mencari dan berpidah. Saling menimpal. Ada yang
bergidik, berputar-putar, terhempas dan penyakitan. Tubuh yang tak mapan, rapuh yang senantiasa
meminjam bahasa diluar dirinya. Laku dan pekik para pelakon pada akhirnya tidak
sekedar perwujudan dari perasaan semata. Ia menjelma menjadi sistem panggil, miscall
antara situasi dan kenyataan yang berlain-lain dengan biografi yang lain pula
dan hubungan diantara satu dengan yang lain. Upaya-upaya penghubungan dengan
repetisi-repetisi kinetik dan pengkodean. Bercermin dan saling meniru laku diantara
pelakon menjadi cara pertama komunitas manusia terhubung, selain perasaan yang
mendedak. Sebuah sistem komunikasi yang dirangkai dari keputusasaan.
Pertunjukan "POOH - POOH SOMATIC; On Crowd of Biographies" - Kalanari Theatre Movement. Foto: John Heryanto. |
Pertunjukan pada akhirnya menjadi
ajang untuk uji coba atas bahasa yang dimiliki teater. Sebuah percobaan yang cukup
berani, liar dan mendobrak batas-batas kelajiman. Meski bukan sesuatu yang baru. Melihat pertunjukan Kalanari Theatre kali ini, sepintas penonton akan teringat
pertunjukan Teater Garasi yang bertolak dari pertanyaan. Tentunya Teater Garasi
dan Kalanari memiliki cara dan warnanya masing-masing, meski sama-sama berdomisili di Yogyakarta. Ditangan
Ibed Surgana Yuga, Teater tidak lantas selesai ketika ia memiliki bahasa ugkap.
Teater menjadi sesuatu yang dibaca
kembali, ditelusuri, dan diragukan. Sebagai yang amatir dan tidak pernah mapan.