TEATER MENERTAWAKAN MILITER ALA TEATER LEUWILIANG

http://www.daunjationline.com/2017/12/teater-menertawakan-militer-ala-teater.html
Ada yang menarik pada hari Minggu pagi
(3/12) di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Bukan karena ada konsolidasi
seluruh mahasiswa IPB untuk mogok kuliah merencanakan aksi besar-besaran
bersolidaritas untuk Kulon Progo, yang akan digusur dari tanahnya oleh proyek
Bandara NYIA. Bukan. Karena itu memang tidak terjadi. Minggu pagi itu, seratusan
orang memenuhi depan Auditorium JHH, Fakultas Peternakan IPB, untuk mengantri
menonton pertunjukan teater “Ssst..!” yang dipentaskan Teater Leuwiliang. Bukan
tanpa alasan mengapa Teater Leuwiliang memilih gedung auditorium sebagai tempat
mementaskan teater. Kabupaten Bogor memang tidak pernah memiliki gedung
pertunjukan. Kabupaten yang Bupati-nya dipenjara sebab kasus korupsi empat
tahun lalu ini, memang belum ramah terhadap kegiatan-kegiatan kesenian, khususnya teater. Maka dengan biaya sewa
selama dua hari dua malam yang hanya Rp 600.000, dengan akustika gedung lumayan
dan lokasi yang masih dekat dari Leuwiliang, Auditorium JHH adalah tempat yang
paling logis dipilih oleh Teater Leuwiliang.
“Ssst..!” merupakan naskah karya Ikra
Negara yang ditulis pada era pemerintahan kapitalisme-militeristik Orde Baru.
Naskah ini sarat akan kritik terhadap penguasa otoriter yang berkuasa kala itu,
dalam naskah ini tokoh Cupak adalah pengandaian dari tokoh nyata Smiling General ciptaan Ikra Negara. Karena pada era itu tak ada demokrasi sedikit
pun, maka teks-teks dalam naskah ini pun sangat khas menunjukan bahwa ketika
itu memang ada situasi yang menghambat seseorang untuk ‘mengatakan hal yang
sebenarnya’, sehingga gaya satire dan komedi menjadi style yang kental. Walaupun dalam beberapa bagian, teks-teks yang
muncul juga terlihat sangat berani (vulgar), seperti teks yang terlontar dari
Cupak kepada Togok: ...kau hanyalah alat
kekuasaanku, aku yang punya kuasa atas ide dan pikiran di sini! Togok
adalah tokoh militer, dalam pertunjukan yang disutradarai Fahmi Reza ini, Ia
adalah tentara berseragam pink dengan polkadot warna warni, lengkap dengan
sepatu, senapan dan topi perang. Tokoh Togok bertingkah laku sangat bodoh,
polos, bisa ditertawakan oleh penonton kapan saja, dan segala tingkah lakunya
Cupak lah standar kebenarannya.
“..yaa, saya memang ingin bilang kalau
dia (Togok) itu emang cuma anjingnya penguasa. kayak di salah satu adegan,
Togok merangkak sambil menggonggong. ya, dia memang diciptakan jadi anjingnya
Cupak”, ujar Fahmi.
Teater Leuwiliang hampir dalam setiap
produksinya membawa nafas komedi, seperti pementasan lakon Petang di Taman karya Iwan Simatupang dan Lakon Si Aladdin: sebuah dekonstruksi dongeng
karya Fahmi Reza yang digarap dengan nafas komedi yang kental. Juga dalam
pertunjukan “Ssst..!” ini, komedi hampir ada di setiap bagian adegan, jika
meminjam istilah dalam seni komedi tunggal, laugh
per-minute (LPM) dalam pementasan ini begitu padat, sehingga tak terlalu berlebihan
jika “Ssst..!” Teater Leuwiliang ini kita sebut sebagai teater komedi.
Catatan
sebagai penonton: menertawakan militer, deoptimisasi perubahan dan ending yang
kehilangan arah
Saya sudah merasakan nafas ‘kritik’
dari pertunjukan ini sejak sebelum masuk gedung pertunjukan. Saat mengantri di
depan pintu masuk, beberapa orang yang bertugas sebagai pemeriksa tiket masuk
dan buku tamu semuanya memakai t-shirt putih
bertuliskan “Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan” dengan font berwarna
merah. Kutipan yang berasal dari teks tokoh Minke dalam Tetralogi Buru, buku
novel-sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Sesuai jadwal di poster, pertunjukan
mulai lima menit lagi tapi saya dan puluhan penonton lain sudah duduk di kursi
yang telah disediakan. Pertunjukan dimulai, kami langsung dihadapkan pada
sebuah visual panggung; sebelah kiri panggung ada kursi singgasana yang
diduduki oleh Cupak, pakaiannya seperti seorang kapten TNI AU, pakaian serba
putih seperti seorang angkatan udara. Ternyata, Cupak ini adalah seorang
pimpinan negara, atau presiden. Kita sebut saja presiden. Samping kanan-kiri Cupak, ada dua orang berdiri
tegak lengkap dengan kaca mata hitam. Di sisi panggung yang lain, ada sebuah
esteger setinggi kira-kira tiga meter, di atasnya berdiri seorang tentara
bernama Togok. Kostum yang dia pakai, senjata yang dia pegang dan cara
berdirinya yang tegak berikut seperti mengintai keadaan dari ketinggian, cukup
jelas memberitahu kami sebagai penonton bahwa Ia adalah tentara. Walaupun
sebagai tentara, tampaknya desain kostumnya
terlalu pop and fun sebagai seorang
yang siap untuk berperang. Lucu ya kalau
tentara kostumnya begitu jadi enggak serem, celetuk seorang penonton lain
yang berada dua kursi di sebelah saya. Tapi barangkali, bukan kesan lucu itu
yang ingin dikatakan pertunjukan ini, tapi kesan lucu yang lain. Nilai dan
makna pink polkadot pada kostum Togok bukan menjadi tentara yang ramah dan baik
pada semua orang, justru kostum Togok adalah upaya memperlihatkan transformasi
kualitas dengan menggunakan teknik comparison
(buku Estetika Teater hlm 215, Benny
Yohanes, 2014). Togok sebagai tokoh militer ditampilkan lain dengan
tampilan militer pada umumnya: seram, gagah, berani, kuat, hebat dan maskulin,
menjadi lucu, imut dan bisa ditertawakan. Makna apa yang ingin disampaikan oleh
pertunjukan ini, dari pink polkadot dari diri seorang Togok?
Sedikit membaca sejarah, siapa dan apa
sebenarnya militer, di Indonesia institusi tentara adalah institusi yang belum
terbentuk sama sekali ketika Indonesia pertama kali menyatakan kemerdekaannya
pada Agustus 1945. Saat itu, bangsa Indonesia belum memiliki institusi
ketentaraan, bahkan konsep ketentaraan seperti apa yang akan dimiliki
Indonesia, pun belum jelas. Adalah para ex-PETA, ex-KNIL dan Tentara Rakyat tiga
golongan yang ada sebagai barisan orang-orang yang memiliki pengalaman dalam
soal perang, yang menjadi unsur dalam diskusi konsep tentara Indonesia. Para
pemuda ex-PETA dan ex-KNIL merupakan orang-orang yang dididik secara
professional menjadi tentara. Para ex-PETA adalah orang-orang dididikan Jepang,
yang dilatih selama kurang dari setahun untuk langsung siap menjadi prajurit
perang. Ketika itu, PETA diakui sebagai produk sukses Jepang karena skill
perangnya yang baik dan hanya dilatih kurang dari satu tahun, padahal ketika
itu para PETA adalah pemuda kampong yang rata-rata paling tinggi hanya
berpendidikan hingga sekolah dasar, tapi Jepang bisa mendidik mereka secara
singkat, bagaimana pemuda kampong yang tidak sekolah itu bisa cepat memahami
trigonometri? Tapi, di satu sisi jangan juga kita lupa bahwa skill tinggi yang
dimiliki oleh para PETA itu didapat, dari Jepang yang memiliki watak fasisme
yang kuat. Lalu ex-KNIL, mereka adalah sekelompok pemuda yang menjadi tentara
di jaman pemerintahan Belanda. Mereka adalah orang-orang yang sengaja dilatih
Belanda, sebagai tentara penjaga pemerintahan Belanda ketika itu. Kualitas
skill perang ex-KNIL memang tidak melebihi para ex-PETA. Namun, ex-KNIL
memiliki watak politik dan licik, khas kolonial. Tentu, baik ex-PETA maupun
ex-KNIL tak bisa kita pisahkan dari sejarah dididik oleh watak macam siapa
mereka. Sedangkan yang terakhir, Tentara Rakyat. Tentara Rakyat adalah
orang-orang sipil yang tergabung dalam Laskar-Laskar Rakyat. Mereka adalah para
gerilyawan yang ikut berperang saat masa kemerdekaan, mereka adalah yang
sehari-harinya petani, buruh, dan para pelajar. Ketika proses perumusan konsep
tentara seperti apa yang akan dimiliki Indonesia inilah, Tentara Rakyat atau
para Laskar Rakyat ini lah yang pertama kali ditendang. Laskar Rakyat dianggap
tidak mumpuni dalam skill perang karena tidak pernah mengenyam pelatihan
ketentaraan yang professional. Juga, satu pernyataan ketika itu yang membuat
akhirnya konsep tentara professional lah yang dipilih sebagai konsep militer
Indonesia, adalah “negara ini mesti memiliki tentara yang professional, yang
tidak ikut campur dalam politik sipil”. Ini dikatakan oleh AH Nasution yang
seorang ex-KNIL, sebagai landasan untuk menolak konsep tentara rakyat: yang
ikut serta dalam politik, tidak ada seseorang yang ‘khusus’ menjadi tentara,
dan semua orang adalah tentara ketika perang dibutuhkan. Konsep macam ini bisa
kita lihat di negara Kuba hari ini. Gudang-gudang senjata berada di tiap-tiap
desa, yang jika sewaktu-waktu perang dibutuhkan negara akan membukanya dan
setiap orang akan menjadi tentara. Namun pada fakta sejarahnya, konsep tentara
professional ala ex-KNIL dan ex-PETA
lah yang dipilih, di atas ribuan korban tewas para Laskar Rakyat (buku militerisme untuk pemula). Walaupun
dalam proses pembentukannya, ex-KNIL dan ex-PETA bukan tanpa konflik. Bahkan
apa yang menjadi landasan awal konsep tentara professional pun dilanggar
sendiri oleh mereka, bahkan hingga hari ini pasca-orde baru. Tentara kita
professional? Benarkah, begitu? Apakah tentara kita tidak berpolitik atau
mencampuri kehidupan sipil? Omong kosong, semua lini kehidupan sipil hamper tak
ada yang luput dari peran militer. Sepak bola, perguruan tinggi, pemerintahan,
desa, ekonomi, bahkan pada setiap praktik penggusuran dan konflik agraria,
tentara selalu hadir: ikut menggusur dan mengusir rakyat. Maka, citra militer
yang ada di kepala kita (sipil) tentang mereka yang professional, kuat,
disiplin, gagah, pemberani bahkan selalu benar telah dipancing untuk keluar
dari sana lewat warna pink dan polkadot dari kostum Togok.
Lalu, selain itu apa lagi yang ‘lucu’
dari kerja tentara jika melihat Togok? Setiap institusi kemiliteran, selalu
memakai pola kerja yang instruksional. Pola kerja yang ketika atasan bilang A,
maka bawahan harus bilang A. Membantah atau mempertanyakan perintah atasan sama
saja melanggar hukum ketentaraan. Itu lah mengapa kata “siap” selalu menjadi
awalan dari setiap ucapan tentara. Apakah kita juga terbiasa dengan kata
“siap”? Itu lah warisan militerisme yang telah tertanam menjadi chip, hingga
kita yang sipil saja memiliki watak itu dalam praktik menjalankan keseharian.
Maka, penggunaan comparison pada Togok
memiliki makna untuk membandingkan antara citraan tentara yang umum kepada
citraan tentara yang lain, yang telah di transformal
nilai dan maknanya. Kepada kritik atas nilai dan makna yang mapan itu,
bahwa tentara sebenarnya hanya alat yang selalu menurut pada intruksi/perintah
pemimpinnya, “kau hanyalah alat kekuasaanku, aku yang punya kuasa ide dan
pikiran!” (dialog Cupak pada Togok). Status kemanusiaan seorang tentara telah
diokupasi oleh kekuasaan, sehingga tentara hanya sebagai makhluk yang siap
menjaga dan menjalankan segala yang diperintahkan penguasa. Togok juga dalam
dialognya ..memang kesalahan itu ada,
tapi ya namanya sedang membangun jangan sedikit-sedikit dikrtik lah, saat
membela Cupak yang dikritik oleh wartawan. Togok membiarkan kontradiksi yang
dia telah dapatkan “..memang kesalahan itu ada..” dengan tetap membela Cupak
yang atasannya. Karena Cupak adalah atasannya.
Bagian awal adalah adegan Cupak dan
pengawalnya melihat berita-berita dari media soal situasi negara. Dari
perspektif penonton, berita-berita itu adalah slide show yang berada di kain putih di sentral panggung. Selama
berita-berita itu hadir bergantian, music mendukung suasana seperti sebuah
pengiring acara-acara berita pagi hari. Pada akhir tampilan berita-berita
tersebut, muncul sebuah teks kritik dari sebuah media tidak dikenal. Cupak,
kemudian memerintahkan satu orang pengawalnya yang ia sebut Intel, untuk
mencari tau dari mana datangnya teks kritik itu. Sekaligus menyelidiki siapa
yang membuat teks-teks tersebut.
Seperti yang telah dibocorkan
sebelumnya, bahwa hampir setiap adegan adalah adegan komedi: mulai dari adegan
Cupak yang akan pergi tidur sambil melontarkan teks “..aku akan melakukan
pekerjaan yang mulia. tidur! sebab tidurnya seorang pemimpin akan menghasilkan
inspirasi dari mimpi-mimpi untuk membangun negara”, adegan Franciscus (pengawal
Cupak) melakukan smackdown ala John
Cena kepada Togok, hingga adegan Cupak memarahi pemusik kalian bisa enggak sih main musik? saya buat perppu ormas music nanti, biar semua musisi bermusik
sesuai kehendak pemerintah!.
Sebagai penonton, di 20% bagian awal
pertunjukan saya masih menikmati berbagai komedi yang dipertontonkan panggung.
Namun selebihnya, ada perasaan seperti: kok seperti saya tidak diberi waktu
untuk memahami teks-teks yang berisi kritik itu, karena terus-menerus dipaksa tertawa.
Saat mewawancarai Fahmi Reza, hal ini saya tanyakan, mengapa sangat banyak
komedi, apakah tidak takut esensi teks itu tertutup makna kritiknya oleh efek
komedi yang ditimbulkan? Fahmi menjawabnya dengan santai, bahwa Teater
Leuwiliang memang punya kecenderungan seperti ini (komedi). Alasannya, karena
kultur penonton teater Bogor tidak bisa menonton sesuatu yang serius lama-lama.
Buktinya, pertunjukan ini yang komedinya padat saja masih banyak yang tidak
focus, main handphone dan sebagainya. Jadi, berbagai kritik di pertunjukan ini
cukup sampai sebagai pengetahuan saja. Caranya lewat komedi, karena kalau
tidak, tidak akan diingat.
Dalam hal ini, sutradara mengakui
bahwa esensi (makna) yang dihadirkan dalam pertunjukan “Ssst..!” ini masih ada
dalam posisi kedua, karena yang pertama tetap sebagai sebuah teater. ‘Kami
sebuah pertunjukan teater, dan kalian adalah penonton’. Barangkali slogan itu
yang dipakai oleh Teater Leuwiliang, yang bagi saya tetap sebuah hal yang mesti
disayangkan, karena kehadiran komedi yang sangat padat itu, bagi saya beberapa
kali menghambat saya (sebagai penonton) untuk mampu memahami esensi teks dan
tubuh dari para aktor.
Cerita dilanjut sampai pada Intel
berhasil menangkap ‘pelaku’ di balik teks-teks kritik terhadap Cupak. Ia adalah
Wartawan, seorang tokoh yang muncul dengan pakaian biasa-biasa saja, tidak
memperlihatkan tanda apapun dari kostumnya: selain orang biasa dan disebut
“Wartawan”. Wartawan terlihat biasa, karena dibandingkan dengan tokoh lainnya,
hanya Wartawan yang tidak terkena teknis pengubahan, pelebihan, pengasingan
atau pemberi-tandaan. Tokoh Wartawan juga dimainkan menggunakan acting yang
sangat realisme. Aktor yang memainkannya, Samsul Bachri juga cukup baik dalam
memerankan teknik Stanislavskian, terlihat ketika adegan Solilokui-nya tentang
kebebasan berpendapat, yang dilontarkan sebagai orang biasa (sipil) yang memang
sedang ingin mengatakan itu, di tengah situasi yang tidak demokratis:
diperlihatkan melalui akting kecil cemas dan tidak tenang (seperti sedang diintai).
Wartawan akhirnya ditangkap, Ia
diborgol di bawah esteger yang sedari awal berada di panggung. Ia diinterogasi,
dipukuli oleh Togok dan Intel. Cupak membuat surat perintah penahanan terhadap
Wartawan. Salah satu kutipan dialog Cupak: “..diperintahkan untuk menahan
Wartawan, alasan penahanan: menyusul!”. Dialog ini menurut Fahmi relevan dengan
kondisi saat ini ketika siapa pun bisa menjadi korban kriminalisasi. Namun,
lagi-lagi adegan penyiksaaan Wartawan yang diwarnai dengan perdebatan sebentar
antara Cupak dan Wartawan pun tak luput dari alineasi yang membuat pertunjukan
menjadi cair kembali. Bahkan sang tokoh Wartawan dalam kondisi terborgol itu,
kebagian mengisi dialog yang menjadi punchline
dalam alineasi itu, menyuruh aktor lain untuk melanjutkan adegan. Sialnya,
bagian ini memang lucu!
Singkat cerita, Wartawan akhirnya
dihukum mati. Bagian ini saya rasa kurang berhasil, atau terasa timpang karena
efek komedi sebelumnya yang terlalu tinggi. Sehingga adegan hokum mati Wartawan
dengan cara dimutilasi lewat tampilan siluet, terasa ‘nanggung’. Kami para
penonton dibuat geli karena adegan pemotongan tangan yang mestinya menjadi
ngeri, malah menjadi lucu karena property tangan palsu yang sangat terlihat.
Ini karena properti dan aktor tidak sama skalanya pada tampilan kain siluet.
Dalam tokoh Wartawan ini, yang muncul
awalnya sebagai tokoh seorang yang berani melawan dan mati begitu saja. Ada
yang hilang dari ‘nasib hidup’ Wartawan di lakon ini. Ia muncul, berani
melawan, lalu dihukum mati begitu saja. Tidak ada massa yang mendukungnya,
tidak jelas juga siapa yang sebenarnya Wartawan selain idealisme memperjuangkan
kebebasan berpendapat dan apa efek dari kematian sang wartawan? Sesuatu yang
hilang ini saya rasakan karena memang tidak dimunculkan satu pun tokoh dari
kelas masyarakat yang tertindas: tidak ada tokoh petani miskin, tidak ada tokoh
buruh, tidak ada tokoh orang-orang putus sekolah. Padahal, andai tokoh-tokoh
ini hadir, apa yang diperdebatkan Cupak dan Wartawan tentang konsep keadilan
dan menjalankan negara tidak bias menjadi perjuangan yang idealis. Tapi lebih
jelas, bahwa efek dari semua kekuasaan yang tidak adil itu, adalah penderitaan
rakyatnya. Namun, kritik ini juga telah dijawab Fahmi bahwa Ia memang berpikir
bahwa masalah negara bukan kemiskinan yang menjadi intinya, tapi masalah
intinya adalah cara kerja penguasanya. Karena, lanjut Fahmi, biar pun
kemiskinan itu masih ada saat ini, tapi tidak sebanyak saat orde baru, dan
watak orde baru lah yang tidak berubah sama sekali hingga hari ini. Hm…benarkah?
Kematian Wartawan ternyata bukan
bagian terakhir dari pertunjukan ini, padahal pertunjukan sudah berlangsung
selama 90 menit. Luar biasa, sebagai pertunjukan, “Ssst..!” memang berhasil
membuat penonton tidak bosan dan lelah untuk bertahan memirsa panggung. Usai
matinya Wartawan dibalik kain siluet, semua tokoh lalu meninggalkan panggung. Di
balik siluet itu, kemudian muncul seseorang. Ia adalah tokoh dengan topi, mirip
topi yang sering dipakai Sudjiwotedjo. Ia makin mirip Sudjiwotedjo dalam kepala
saya, saat yang muncul adalah dialog seperti mantra dan memegang sebuah
gunungan; makin seperti dalang. Tak lama, Cupak dan gengnya muncul lagi, mereka
berkumpul di atas esteger. Lalu duduk dan melihat ke arah kain siluet sang
dalang. Mereka seperti sedang menonton sebuah pertunjukan ketika melihat kain
siluet itu. Ternyata, dalam bagian ini, penonton baru diberi tahu bahwa ‘Cupak’
adalah sebuah legenda atau karangan sang dalang. Atau dalam kata lain, apa yang
telah terjadi di panggung 90 menit sebelumnya merupakan drama Cupak yang
dimainkan sang dalang. Cupak yang sebenarnya, sebenarnya tidak tau sama sekali
tentang sebutan itu. Yang Ia tau, ‘Cupak’ adalah sebuah legenda terlarang yang
membahayakan kekuasaan. Dalang ini menjadi lawan satu-satunya dari ‘Cupak’ di
panggung sekarang. Dalam bagian ini yang sudah saya duga akan menjadi bagian
ending, saya langsung mendapat kesimpulan: bahwa pertunjukan ini memiliki ending seniman sebagai hero yang akan
meruntuhkan rezim. Perdebatan terjadi, antara Dalang yang masih berada di balik
siluet, dengan ‘Cupak’ dan gengnya. Namun lagi-lagi, di adegan yang mestinya
menjadi resolusi ini, yang lazimnya adalah serius, alineasi tetap dihadirkan.
Dalang yang sedang mendebat ‘Cupak’ dengan lantang dibuat lupa dialog, Ia
memanggil timnya untuk membaca naskah, dan seseorang dari luar panggung
berpakaian seperti tim produksi sebuah pertunjukan masuk ke panggung dan bilang
“..maklum, ini lah aktor, yang di luarnya bekerja sehari-hari dan di luarnya
juga latihan sehari-hari..”, kemudian keluar lagi, dan adegan dilanjutkan
kembali.
Dalang lalu keluar dari kain siluet,
ke atas panggung. Wujudnya tak jauh beda seperti yang bisa diduga penonton saat
di kain siluet: memakai topi, memakai selendang dan memakai kain. Satu hal yang
baru bisa penonton lihat adalah make-up di
wajahnya yang meniru wajah Joker. Seorang ikon antagonis di film batman, yang
tampilannya tidak seperti penjahat pada umumnya. Dalang ber-makeup Joker itu kemudian berbicara
tentang keseriusan seorang seniman untuk terus mengisahkan ketidakadilan
penguasa, dan terus begitu tanpa henti. Perdebatan yang tidak terlalu jelas
soal apa yang diperdebatkan, karena barangkali juga bias oleh efek fiksi tokoh
Dalang ini. Togok diperintahkan oleh ‘Cupak’ untuk menangkap Dalang dan
menjebloskannya ke penjara. Cupak dan gengnya keluar panggung, membiarkan
Dalang berlutut menghadap latar yang telah bergambar sebuah sel penjara. Sambil
berlutut, sedih dan seperti menyesal. Kemudian lagu karya Sundari Soekotjo
“Tanah Airku” dimainkan sebagai latar pendukung suasana.
Pertunjukan selesai, diakhiri dengan
dipenjaranya sang seniman dan rezim yang tetap berkuasa. Alasan Fahmi mengapa
endingnya sang penguasa tidak berhasil dikalahkan, adalah karena perjuangan harus
diteruskan oleh semua yang menonton. Lalu
soal tokoh seniman yang melawan, lalu akhirnya dipenjara. Saya sendiri tidak
siap dipenjara, seperti pilihan lagu yang terakhir: saya akan sedih seperti
itu.
Melalui pertunjukan “Ssst..!” yang
berdurasi hampir dua jam ini, setidaknya Teater Leuwiliang telah banyak
mendapat pencapaian artistik-estetik maupun empati (gagasan). Secara artistik-estetik, permainan para
senimannya cukup tidak mengecewakan. Biarpun cukup banyak juga nama lama
seperti Fahmi Reza (aktor Teater Gading sejak 2012), Muhamad Harfan (aktor
Teater Koma sejak 2014), Samsul Bachri (aktor Teater Leuwiliang) dan Farhan
Radi (penata musik Teater Gading sejak 2014). Namun Teguh, yang memerankan
Cupak adalah orang yang sama sekali baru, dan permainannya sama sekali tidak
mengecewakan. Tata musik dan suara juga sangat digarap dan rapi. Dalam
pertunjukan ini saja, ada tiga lagu baru yang dimainkan, dan satu lagu
cover-dekonstruksi yaitu himne Partai Perindo. Kerja sama lini musik aktor juga
digarap sangat baik dan serius. Dalam wilayah empati sebagai pertunjukan,
komedi memang menjadi penting akhirnya untuk meraih empati penonton. Gagasan
besar yang disebut Fahmi sebagai “penggambaran situasi saat ini lewat teater”
barangkali memang cukup relevan untuk konteks penonton teater Bogor.
Publik Kabupaten Bogor memang masih melihat teater sebagai alternatif hiburan selain televisi di rumah atau bioskop. Ada salah satu ungkapan menarik dari penonton teater Bogor di salah satu media sekitar tahun 2015, katanya ..lebih untung nonton teater, soalnya lebih murah dari nonton bioskop.. film-film bioskop juga suatu saat bakal ada di teve atau didownload di internet…
“..maka keberadaan teater di Bogor
menjadi ruang kemungkinan selain hiburan alternative untuk misi-misi edukasi
dan ruang dakwah..”, pungkas Fahmi.
Dalam sesi mewawancarai Fahmi Reza, di
waktu sebelum berpisah saya bilang bahwa Teater Leuwiliang berhasil membuat
pertunjukan teater menertawakan militer, walaupun ketidakhadiran tokoh
‘orang miskin’ tetap menjadi kegagalan untuk memahami masalah yang sebenarnya bagi pertunjukan ini. Juga, ending yang membuat penonton
justru menjadi makin pesimis untuk berani berjuang (melawan ketidakadilan)
gara-gara melihat kegagalan perlawanan Wartawan dan menderitanya Dalang di dalam penjara.
Semua
tingkah laku penguasa itu memang komedi yang harus ditertawakan, ujar
Fahmi sambil tertawa.
[ Nofal ]